TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah aktivis lingkungan yang bergabung dalam Rainforest Action Network (RAN), TuK Indonesia, Jikalahari, WALHI dan Profundo menganggap sektor keuangan telah berperan dalam melanggengkan krisis kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Peran ini diberikan lewat kucuran kredit dengan jumlah besar terhadap perusahaan pemicu kebakaran hutan.
Perwakilan Jikalahari, Made Ali, mengatakan, kebakaran hutan di Indonesia tidak akan pernah bisa selesai selama masih ada bank-bank yang mendanai korporasi pembakar hutan. Upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan kebakaran hutan lewat penegakan hukum dan sanksi perdata maupun pidana pun jadi terkesan sia-sia.
“Ini seperti terus menyiram bensin ke api. Beberapa perusahaan secara terorganisir menggunakan api dengan sengaja untuk membuka lahan gambut yang mudah terbakar jadi kebakaran terus terjadi. Tapi tidak ada yang bisa membuat mereka mengubah cara mereka beroperasi karena masih ada yang menyuntikkan dana,” kata Made, Rabu, 11 Desember 2019.
Ia menyebut, grup perusahaan yang terlibat dalam karhutla tahun 2019 telah menerima Rp262 triliun dari sektor keuangan. Dana itu baik dalam bentuk utang dan penjaminan sejak 2015. Tak hanya dari dalam negeri, kata Made, perusahaan pemicu karhutla ini juga mendapat suntikan dana Cina, Taiwan, Singapura dan Jepang.
Menanggapi hal ini perwakilan dari WALHI Indonesia, Wahyu Perdana berharap agar bank-bank tersebut bisa ikut mendorong perbaikan tata kelola dan perkebunan. “Sebagai sumber keuangan, bank-bank ini seharusnya mewajibkan klien mereka untuk patuh terhadap seluruh peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Peraturan yang dimaksud termasuk tunduk pada regulasi terkait restorasi gambut yang berarti tidak ada toleransi bagi perusahaan yang terbukti membakar gambut untuk membuka lahan, dan akhirnya memicu karhutla.
MONICHA YUNIARTI SUKU