TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, meramalkan Indonesia akan mengalami defisit energi hingga US$ 80 milar atau sekitar Rp 1.122 triliun pada 2040. Prediksi itu mengacu pada kondisi produksi dan konsumsi energi dalam negeri yang terus menunjukkan ketimpangannya.
“Produksi turun terus, tapi konsumsi naik terus. Minyak dan gas kita sekarang sudah defisit US$ 5,7 milar,” ujar Faisal di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa, 10 Desember 2019.
Faisal mengatakan, dalam posisi saat ini, Indonesia sebenarnya masih beruntung lantaran memiliki cadangan energi batu bara mencapai US$ 20 miliar. Angka itu setara dengan Rp 280,6 triliun. Karena itu, meski mengalami defisit migas, negara masih memiliki cadangan energi dari batu bara hingga 2020.
Pada 2021, ketika cadangan batu bara mulai terkikis, Indonesia mulai mengalami defisit energi. Kondisi pasokan energi dalam negeri pun disinyalir tidak membaik karena investor di sektor hulu migas sulit masuk ke Indonesia.
Berdasarkan data yang dipaparkan Faisal dari Global Petroleum Survey 2018, Indonesia termasuk sepuluh negara dengan hambatan investasi terbesar di sektor hulu migas di dunia. Ranking Indonesia tak jauh dari Irak dan Libya, yang juga tercatat sebagai negara dengan problem hambatan investasi hulu migas terbesar.
Dalam survei itu, persepsi global terhadap Indonesia menunjukkan bahwa regulasi yang dibuat pemerintah di level menteri acap gagal. Persepsi lain menunjukkan adanya sistem kontrak yang mengecewakan bagi investor dan peraturan yang bias dan tak pasti sehingga membuat penanam modal berpotensi merugi.
Faisal mengatakan pemerintah semestinya mengkaji ulang kebijakan yang ada saat ini. “Solusinya bukan Omnibus Law. Jelas ini flip-flop governance policy. Sudah post recovery tiba-tiba diganti jadi grow split,” tuturnya.