TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Muhamad Chatib Basri mengingatkan adanya potensi downside risk (risiko penurunan) transaksi di pasar modal. Apalagi pada 2020, Bursa Efek Indonesia menargetkan nilai transaksi (RNTH) mencapai Rp 9 triliun pada 2020.
"Makanya kalau bursa punya transaksi Rp 9 triliun, harus dilihat hati-hati. Karena bisa ada downside, karena ada kemungkinan dari growth dan itu tergantung dari likuiditasnya ada atau tidak," ujar dia dalam diskusi di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta Selatan, Selasa 9 Desember 2019.
Chatib menjelaskan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi terkena dampak kebijakan easing monetary policy di negara maju. Kebijakan easing monetary atau pelonggaran moneter lewat suku bunga membuat investor asing memindahkan dananya ke negara berkembang. Soalnya, keuntungan berinvestasi di negara berkembang dinilai lebih baik dibanding di negara maju.
Sayangnya, dana yang mengalir tersebut lebih banyak berpindah ke instrumen portofolio atau surat utang dibanding saham. Hal inilah, kata dia, yang menjelaskan saat ini kondisi pasar obligasi atau surat utang pertumbuhannya lebih baik dibandingkan pasar modal.
Pasar obligasi yang menguat tersebut didukung dengan kondisi nilai tukar rupiah yang cenderung stabil. Karena itu, investor melihat, pasar obligasi lebih menjanjikan secara dari sisi return atau keuntungan dibandingkan pasar saham yang kini tengah melambat pertumbuhannya.
"Jadi karena investor melihat pertumbuhan pasar saham melambat, sehingga earingnya bakal kena, inilah yang menjelaskan kenapa bond market reli dan saham dari 6.500 turun menjadi sekitar 6.100," tutur Chatib.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan Hoesen mengatakan indikator pasar modal saat ini masih terjaga juga terjadi. Meskipun demikian, dia tak menampik bahwa gerak IHSG sampai saat ini cenderung fluktuatif secara sepanjang tahun.
"Meskipun IHSG bergerak fluktuatif, melemah di atas 0,01 persen year to date, perkembangan indikator masih terjaga," ujar Hoesen.
Hoesen juga mengungkapkan, pasar modal yang masih terjaga juga terlihat dari investor asing yang masih mencatatkan aksi beli bersih (nett buy) Rp 41,73 triliun sepanjang tahun berjalan (year to date). Dari sisi total emiten yang mencari dana di pasar modal juga tercatat meningkat menjadi 52 emiten dari sebelumnya 48 emiten pada 2018.
Dari pasar obligasi, Hoesen menyatakan bahwa pertumbuhannya lebih baik dibandingkan pasar saham. OJK mencatat rata-rata imbal hasil obligasi mengalami penurunan sebesar 97 basis poin (bps). Kondisi ini diperkuat dengan transaksi investor asing yang mencatatkan nett buy lebih dari Rp 174 triliun.
DIAS PRASONGKO