TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia menyebut sampai akhir tahun posisi current account defisit (CAD) atau defisit transaksi berjalan dalam Neraca Pembayaran Indonesia bakal berada pada level US$ 30 miliar hingga US$ 31 miliar. Angka ini setara dengan rasio 2,7 - 2,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan rasio CAD antara 2,7-2,8 persen dari PDB merupakan posisi yang reliabel bagi perekonomian. "Yang penting defisit itu bisa dikelola, dan ditutup dengan aliran modal asing yang datang," ujar Dody dalam acara "Seminar Outlook 2010" di Gedung Bursa Efek, Jakarta Selatan, Selasa 10 Desember 2019.
Apalagi, lanjut Dody, saat ini banyak investor asing yang terus datang dan menanamkan modalnya ke emerging market, termasuk ke Indonesia. Hal ini karena imbal hasil atau return investasi di negara maju saat ini lebih rendah jika dibandingkan di negara berkembang.
Kondisi ini sejalan dengan proyeksi tingkat suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) yang diproyeksi masih bakal bertahan di bawah secara berkelanjutan (lower for longer). Dengan tingkat suku bunga acuan yang rendah, membuat investor tak tertarik berinvestasi di negara maju seperti Amerika Serikat dan di Eropa.
Kepala Ekonom Bank DBS Masyita Crystallin menilai defisit transaksi berjalan (CAD) tidak boleh dibiarkan terus melebar dengan beban impor yang tinggi. Hal ini perlu dilakukan jika pemerintah tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi berada di sekitar angka 5,5-6 persen.
"Indonesia juga harus memiliki current account deficit yang friendly (ramah) untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5-6 persen di atas potensi, sehingga dapat keluar dari middle income trap," ujar Masyita mengenai prospek ekonomi 2020 di Jakarta, Kamis 5 Desember 2019, seperti dikutip Antara.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya menyebutkan salah satu alasan mengapa kondisi CAD terus melebar adalah banyaknya pihak yang senang melakukan impor minyak. Dia menilai faktor tersebut membuat persoalan CAD menjadi sulit untuk diselesaikan.
Menurut Jokowi, wajar banyak yang senang dengan impor minyak karena mudah dan untungnya besar. "Bisa dibagi ke mana-mana," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 2 Desember 2019.
AHMAD FAIZ