TEMPO.CO, Jakarta - Instrumen deposito dinilai masih menjadi andalan perbankan untuk menjaga kebutuhan likuiditas hingga tahun ini. Pasalnya, bank masih membutuhkan waktu penyesuaian terhadap tren penurunan suku bunga acuan dan infrastruktur teknologi belum berdampak optimal untuk menggaet dana murah.
Asisten peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dendy Indramawan mengatakan kondisi tersebut masih akan bertahan hingga akhir tahun. Pertumbuhan deposito masih menjadi penyokong pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK).
“Karena itu secara komposisi dana murah masih akan sekitar 55 persen dan dana mahal 45 persen sampai akhir tahun,” katanya kepada Bisnis, Kamis 5 Desember 2019.
Pada tahun depan, dia memperkirakan bank besar lebih leluasa menjaring dana murah. Salah satunya dengan mengandalkan inovasi teknologi yang dipromosikan sepanjang tahun ini. Hal tersebut juga didukung oleh otoritas melalui aturan yang menjadi pondasi digitalisasi perbankan Tanah Air.
Dendy menuturkan bahwa pada dua tahun terakhir persaingan dana murah bukan terjadi antar bank saja. Perusahaan finansial berbasis teknologi (tekfin) yang memiliki fokus pada jasa sistem pembayaran ikut mengambil kue pasar perbankan.
“Saat shifting digital ini matang tahun depan, BUKU [bank umum kelompok usaha] III dan IV harusnya bisa dapat dana murah lebih tinggi,” jelas Dendy.
Namun, peneliti dari Ikatan Bankir Indonesia ini mengingatkan bahwa tidak semua bank akan mendapatkan kesempatan serupa. Bank bermodal inti kurang dari Rp5 triliun, atau BUKU I dan II belum banyak memiliki infrastruktur yang mendukung ekosistem digital.
Adapun secara industri, upaya bank menghimpun dana murah di tengah tren penurunan suku bunga acuan belum membuahkan hasil. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) rasio current account saving accounts (CASA) per Oktober 2019 turun menjadi 54,53 persen dari bulan sebelumnya 55,04 persen. Hal ini pun diikuti dengan rasio dana mahal yang naik dari 44,65 persen menjadi 45,19 persen.