TEMPO.CO, Jakarta - Nasib lebih dari separuh karyawan PT Sriwijaya Air kini menggantung karena gangguan operasional perusahaan setelah mengakhiri kerja sama dengan grup Garuda Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Serikat Pekerja Sriwijaya Air (Aspersi), Pritanto Ade Saputro, mengatakan forumnya akan menagih kejelasan dari direksi anyar yang dibentuk di akhir KSM.
"Karyawan yang kena kekosongan pekerjaan mau bagaimana? Jangan sampai dirumahkan," ujarnya kepada Tempo, Selasa 3 Desember 2019.
Menurut Pritanto, perbandingan jumlah alat produksi dengan sumber daya manusia di Sriwijaya tak lagi seimbang sejak perusahaannya berseteru dengan Garuda. Puncak konflik pada awal November lalu membuat Garuda menarik semua layanan perbaikan dan perawatan (maintenance, repair, overhaul/MRO), termasuk mesin pesawat yang disewakan. Kini Sriwijaya hanya bisa memakai 10 pesawat.
Dalam kondisi optimal, maskapai mengerahkan 30 pesawat untuk melayani 63 rute. Setiap armada membutuhkan sedikitnya 100-110 karyawan dari berbagai divisi. "Kami punya 3.100 karyawan, sudah termasuk enam set crew per pesawat," kata Pritanto. "Dengan 10 pesawat, otomatis hanya 1.500 orang yang bekerja."
Meski belum merincikan, dia memastikan Aspersi tengah menyiapkan bantuan hukum dan berkomunikasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan. "Intinya jangan sampai karyawan diintimasi jadi resign tanpa hak pesangonnya."
Wakil Ketua Aspersi, Yusri Supii, menilai nasib anggotanya pun harus diperjelas agar tak semakin mengusik layanan Natal dan Tahun Baru. Pasalnya lonjakan penumpang udara nasional mencapai 5,2 juta orang. "Factor mental karyawan kan juga ikut berpengaruh," ucapnya.