TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahya Widayanti mengatakan kementerian telah membangun 123 gudang di 106 kota atau kabupaten dengan sistem resi gudang (SRG) sejak 2009. Namun, Tjahya menilai pemanfaat SRG hingga saat ini belum optimal. Ia mencatat hanya sekitar 50 persen SRG yang dimanfaatkan oleh petani dan pelaku usaha hingga saat ini.
“Dari total 123 gudang itu tidak mulus, ada on-off (hilang timbul). Hanya 50 persen sudah jalan, tapi masih ada yang lancar berjalan seperti kura-kura, bahkan ada yang mangkrak,” ujar Tjahya saat dijumpai di kantornya, Selasa 3 Desember 2019.
Tjahya mengatakan implementasi SRG merupakan suatu instrumen tunda jual dan pembiayaan perdagangan bagi petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani (gapoktan), koperasi tani maupun pelaku usaha. Instrumen ini dapat menyediakan akses kredit bagi dunia usaha dengan jaminan barang (komoditi) yang disimpan di gudang.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2018, setidaknya ada 17 komoditas yang dapat disimpan dalam gudang SRG yaitu gabah, beras dan jagung, kopi, kakao, lada, karet dan rumput laut, rotan, garam, gambir, teh, kopra, timah, bawang merah, ikan dan pala. Dalam implmentasinya, Tjahya mengatakan masih menemukan sejumlah hambatan.
Tjahya mengatakan implementasi pemanfaatan SRG ini merupakan bagian dari 100 hari program kerja Kemendag. Setidaknya, ada 10 daerah yang tengah dikebut dalam implementasinya untuk dijadikan pilot project, yaitu Lebak, Kuningan, Ciamis, Demak, Purworejo, Bolaang Mongodow, Wakatobi, Dompu, Probolinggo, dan Sumenep.
“Gudangnya sudah ada, tapi belum implemntasi SRG. Kami harap dalam 100 hari ini sudah terbentuklah tiga kelembagaannya, seperti pengawas gudang, lembaga penguji, dan perbankan,” tutur Tjahya.
Kepala Biro Pembinaan dan Pengawasan Sistem Resi Gudang (SRG) dan Pasar Lelang Komoditas (PLK) Ninuk Rahayuningrum mengatakan petani masih enggan masuk SRG biasanya karena merasa belum ada kepastian pembeli setiap komoditas yang masuk gudang. Hal itu yang membuat petani lebih memilih tengkulak untuk menyalurkan hasil panennya.
Untuk itu, Ninuk mengatakan setiap pengelola gudang yang ditunjuk nantinya tak hanya sekedar menjaga gudang, tetapi juga harus mampu mencari pembeli siaga atau standby buyer. Beberapa gudang yang telah memiliki standby buyer di antaranya gudang Lampung yang langsung menjual ke Food Station Tjipinang, Jakarta Timur. "Untuk ke depan kami ingin buat aturan kalau mau buka gudang harus menyertakan pengelola dan stand by buyer," ujar Ninuk.
Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan akan mendorong pemerintah daerah untuk optimalisasi gudang yang sudah dibangun. Pasalnya, kata Musdhalifah, gudag tersebut merupakan aset yang dimiliki oleh kabupaten.
"Upaya ini dilakukan dengan sinergi kerja sama Kemendag atau Bappebti, Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia, dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah," ujar Musdhalifah kepada Tempo.