TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Badan Urusan Logistik atau Bulog Tri Wahyudi Saleh tak menjawab gamblang perihal kinerja keuangan perusahaannya. "Kalau dilihat dari manajemen kita, mau dikatakan bangkrut, bisa iya bisa tidak ya," ujar dia di Kantor Bulog, Jakarta, Selasa, 3 Desember 2019.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan soal Kinerja Keuangan Badan Usaha Milik Negara penerima Penyertaan Modal Negara per 31 Desember 2018, z-score Bulog berada pada zona distress alias lampu merah, dengan nilai 0,93. Z-score adalah indikator untuk mengukur kerentanan perusahaan untuk mengalami kebangkrutan.
Berdasarkan data itu pula, terpantau return of equity (ROE) Bulog berada di zona merah dengan angka - 8,9 persen. ROE adalah rasio profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari investasi pemegang saham di perusahaan tersebut. Adapun Debt to Equity Ratio alias DER juga berada di zona merah dengan angka 3,02.
Tri mengatakan kondisi itu sangat bergantung kepada pemerintah. Pasalnya, menurut dia, kewajiban Bulog kepada pemerintah sudah dilaksanakan. "Sekarang tinggal penggantiannya saja," tutur dia. Semakin cepat penggantian kepada perseroan, baik untuk penugasan beras atau gula, maka perseroan bisa cepat membayar utang.
Soal adanya suntikan modal negara alias PMN senilai Rp 3 triliun yang diterima perseroan pada 2015 lalu, ujar Tri, sudah digunakan untuk modal kerja. Ia membantah dana segar itu digunakan untuk memperkuat kinerja keuangan.
Bahkan, Tri mengatakan besaran itu tidak begitu besar karena hanya bisa menutupi pengadaan untuk 300 ribu ton. Padahal, perseroan harus melakukan pengadaan 1,1 juta ton. "Jadi PMN bukan memperkuat kinerja keuangan. Buat modal kerja kok," tuturnya.