TEMPO.CO, Jakarta - Realisasi penyaluran bahan bakar subsidi jenis biosolar tahun ini dipastikan melebihi kuota. Pemerintah menambah alokasi kuota BBM itu untuk memenuhi permintaan hingga akhir tahun.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati menyatakan meminta tambahan kuota biosolar sebesar 1,5 juta kiloliter kepada pemerintah. Menurut dia, konsumsi biosolar meningkat sejak September. "Ada kenaikan permintaan di beberapa daerah khususnya di tempat industri pertambangan dan perkebunan mengalami peningkatan," katanya. Permintaan juga didorong beroperasinya sejumlah ruas tol baik di Jawa maupun di Sumatera.
Dengan kondisi tersebut, Pertamina memperkirakan kuota solar subsidi hanya akan cukup hingga November. Buktinya, sepekan lalu terjadi kelangkaan solar subsidi di beberapa daerah. Tambahan kuota dari pemerintah menyelesaikan masalah kelangkaan itu.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 membatasi kuota solar subsidi hanya 14,5 juta kiloliter. Angkanya lebih rendah dari kuota tahun sebelumnya yang mencapai 15,5 juta. Pemangkasan kuota saat itu diharapkan bisa mendorong penyaluran yang lebih tepat sasaran.
Pertamina juga memperkirakan penyaluran bahan bakar minyak penugasan yaitu premium akan melebihi kuota. Alokasi premium tahun ini dipatok 11 juta kiloliter. "Prognosa di akhir 2019 mencapai 12,1 juta kiloliter," ujarnya.
Kuota tersebut sebenarnya lebih rendah dari 2018 yang mencapai 11,8 juta kiloliter. Pemerintah memangkasnya lantaran serapan bahan bakar beroktan 88 tersebut hanya 9,23 juta kiloliter tahun lalu. Namun Nicke menyatakan Pertamian harus menambah pasokan premium di 571 SPBU setelah mendapat penugasan tambahan untuk menyalurkan premium di Jawa, Madura, dan Bali.
Tanda penyaluran yang melebihi kuota ini sudah nampak sejak semester I 2019. Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) mencatat realisasi penyaluran solar subsidi mencapai 52 persen dari kuota yaitu 7,56 juta kiloliter. Sementara premium selama periode itu mencapai 5,87 juta kiloliter. Kuota solar dan premium di akhir tahun diperkirakan mencapai masing-masing 15,3 juta kiloliter dan 13,2 juta kiloliter.
BPH Migas sempat mengeluarkan surat edaran untuk mengendalikan kuota solar subsidi pada 1 Agustus lalu. Inti surat itu membatasi volume konsumsi solar kepada kendaraan yang berhak sehingga jumlahnya tak melampaui kuota. Salah satu poinnya adalah melarang kendaraan bermotor pengangkut hasil perkebunan, kehutanan, dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam untuk menggunakan solar subsidi. Namun edaran tersebut dicabut kembali mempertimbangkan kebutuhan pasar.
BPH Migas tak menampik kelebihan kuota dapat dipicu penyaluran yang tak tepat sasaran. "Jika ditanya ada penyaluran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran, jawabannya ya," kata Direktur BBM BPH Migas Patuan Alfon Simanjuntak.
Dia memastikan pihaknya akan mengecek ketepatan penyaluran distribusi solar dan premium, termasuk kuota tambahan ini. Kerjasama dengan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah, menurut dia, terus dijalin. Pengawasan juga dibantu oleh digitalisasi nozzle yang kini telah dipasang di beberapa penyalur kedua jenis BBM itu.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Maxensius Tri Sambodo menyatakan tambahan kuota BBM ini akan menambah beban belanja negara. Pemerintah sebelumnya telah memperkirakan defisit sebesar 2-2,2 persen tahun ini akibat dampak ketidakpastian global. "Jika subsidi energi meningkat lagi mungkin kisaran defisit akan terus tertekan," katanya.
Namun Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal menyatakan keputusan pemerintah menambah kuota subsidi BBM sudah tepat. Kebijakan tersebut dapat membantu menjaga daya beli dan menggerakkan industri di tengah tekanan ekonomi global. "Konsumen dan produsen pasti akan mencari alternatif energi yang lebih murah untuk bertahan saat ekonomi lemah seperti sekarang," katanya.
Faisal menyatakan pemerintah sebaiknya tak lagi memangkas kuota subsidi tahun di depan lantaran sulit menekan konsumsi di tengah pelemahan ekonomi. Pemerintah diperkirakan akan sedikit terbantu karena harga minyak mentah dunia berpotensi turun sekitar US$ 60 per barel tahun depan dari saat ini sebesar US$ 65 per barel.