TEMPO.CO, Bandung - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil akhirnya menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 561/Kep.983-Yanbangsos/2019 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Jawa Barat tahun 2020, tertanggal 1 Desember 2019.
Surat tersebut mencabut Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 561/75/Yanbangsos tanggal 21 November 2019 tentang Pelaksanaan UMK 2020 yang menuai penolakan, hingga buruh mengancam mogok daerah selama 3 hari yang rencananya akan dimulai hari ini, Senin, 2 Desember 2019.
Siaran pers Pemerintah Daerah Jawa Barat lewat Humas Pemerintah Provinsi membenarkan terbitnya surat itu yang berisi penetapan UMK 2020 di Jawa Barat untuk masing-masing daerahnya. “UMK dengan besaran yang tercantum pada Kepgub, mulai dibayarkan pada 1 Januari 2020,” kata Kepala Biro Hukum dan HAM, Sekretariat Daerah Jawa Barat, Eni Rohyani, dikutip dari keterangan tertulisnya, Ahad, 1 Desember 2019.
Surat Keputusan Gubernur tentang UMK 2020 itu berisi 7 diktum. Di antaranya berisi pernyataan pencabutan Surat Edaran tentang Pelaksanaan UMK 2020, menetapkan besaran UMK masing-masing daerah, meminta pengusaha memberlakukan struktur dan skala upah, hingga ketentuan tentang penangguhan upah.
Khusus soal penangguhan pelaksanaan UMK 2020 dirinci dalam Diktum ke-7 yang meminta agar perusahaan yang tidak mampu membayar upah mengikuti besaran UMK agar mengajukan permohonan penangguhan pembayaran upah minimum paling lambat 20 Desember 2019. Salah satu butir Diktum 7 tersebut isinya ada yang khusus ditujukan bagi industri padat karya.
“(Pada salah satu poinnya) Terdapat penekanan bahwa pengusaha termasuk industri padat karya yang tidak mampu membayar upah sesuai UMK, dapat melakukan kesepakatan bipartit dengan pengawasan dan persetujuan dari Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Provinsi Jabar,” kata Eni.
Merespons hal ini, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Provinsi Jawa Barat Roy Jinto mengatakan, buruh memutuskan membatalkan mogok daerah yang rencananya digelar tiga hari mulai hari ini. Namun begitu, buruh akan tetap menggelar aksi unjuk rasa hari ini, Senin, 2 Desember 2019.
“Mogok dibatalkan karena da perubahan dari SE (Surat Edaran) ke SK (Surat Keputusan), kita apresiasi itu. Kita hargai niatan gubernur itu dengan perubahan mogok daerah menjadi hanya aksi unjuk rasa. Kita ingin menyampaikan persoalan di poin d Diktum 7 ini agar dihapuskan,” kata Roy saat dihubungi Tempo, Senin, 2 Desember 2019.
Roy mengatakan, Diktum 7 dinilai diskriminatif dengan adanya pembedaan perlakukan antara industri padat karya dan industri lainnya. Industri di luar padat karya di ketentuan itu diminta memproses penangguhan upah mengikuti mekanisme dan ketentuan perundangan hingga mendapat persetujuan gubernur, sementara khusus industri padat karya cukup lewat bipartit antara pengusaha dan pekerja dengan cukup lewat pengesahan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat.
“Mekanisme penangguhan itu sama pada semua jenis industri karena Undang-Undangnya satu. SK tersebut membuat diskriminasi terhadap pekerja di industri padat karya dengan pekerja industri lainnya. Jadi ada perlakukan diskriminasi dari pemerintah Jawa Barat,” kata Roy.
Roy mengatakan, gubernur bisa melindungi industri padat karya tanpa perlu menabrak aturan dengan menerbitkan aturan diskriminatif itu. “Jawa Barat bisa melindungi industri padat karya dengan kewenangannya. Misalnya dengan membuat zona industri, menyediakan lahan, mempermudah izin investasi, itu kewenangan pemerintah Jawa Barat, bukan dengan menabrak aturan yang dibuat pemerintah pusat,” kata dia.