TEMPO.CO, Jakarta - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak ingin mempermasalahkan keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang melantik Letnan Jenderal TNI Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan. IDI pun juga melunak dengan tidak mempersoalkan kelanjutan sanksi etik yang pernah diberikan terkait praktik “cuci otak” Terawan.
“Colling down, IDI tidak mempermasalahkan itu dulu, karena sudah berganti kepengurusan juga,” kata Ketua Biro Hukum dan Pembinaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nazar saat ditemui dalam diskusi di Jakarta Pusat, Minggu, 1 Desember 2019.
Sanksi dijatuhkan sejak Februari 2018 oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI. Terawan dijatuhi sanksi karena praktik intra-arterial heparin flushing alias cuci otak yang dijalankannya dianggap bersalah karena belum terbukti secara klinis. Tapi sampai kini, sanksi tak pernah dijalankan.
Sebagai Ketua Biro Hukum, Nazar lah yang membela Terawan dalam sidang MKEK. Pembelaan ini, kata dia, bukanlah karena dia setuju dengan praktik cuci otak Terawan. Akan tetapi karena Terawan, mempunyai hak untuk memberikan klarifikasi. “Apakah kalau Yusril membela koruptor, berarti korupsi itu benar?
Akan tetapi, Nazar tidak bersedia menjelaskan mengapa sanksi yang pernah dijatuhi oleh IDI tidak pernah dijalankan. “Saya tidak tahu, apakah diumumkan atau dijalankan, saya tidak mau mengklarifikasi,” kata dia.
Meski melunak, Nazar menegaskan bahwa IDI tetap pada pendirian sebelumnya saat menjatuhi sanksi kepada Terawan. Saat itu, IDI pun pernah terang-terangan menolak Terawan menjadi menteri kesehatan. “Tidak berubah sikapnya,” kata dia.