TEMPO.CO, Jakarta - Likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) tumbuh melambat pada Oktober 2019. Posisi M2 pada Oktober 2019 tercatat Rp 6.025,6 triliun atau tumbuh 6,3 persen (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 7,1 persen (yoy).
"Perlambatan M2 berasal dari seluruh komponennya," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko dalam keterangan tertulis, Jumat, 29 November 2019.
Dia mengatakan komponen uang kuasi melambat, dari 7,0 persen (yoy) pada September 2019 menjadi 6,1 persen (yoy). Hal itu dipengaruhi melambatnya pertumbuhan simpanan berjangka, tabungan dan giro valuta asing (valas).
Uang beredar dalam arti sempit (M1) juga menunjukkan perlambatan, dari 6,9 persen (yoy) pada September 2019 menjadi 6,6 persen (yoy) pada Oktober 2019, terutama bersumber dari perlambatan giro rupiah. Demikian juga surat berharga selain saham, melambat dari 39,1 persen (yoy) pada September 2019 menjadi 33,4 persen (yoy) pada bulan laporan.
Sementara itu, uang kartal tumbuh meningkat, dari 4,0 persen (yoy) pada September 2019 menjadi 5,1 persen (yoy) pada Oktober 2019.
"Berdasarkan faktor yang mempengaruhi, perlambatan pertumbuhan M2 pada Oktober 2019 disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan aktiva luar negeri bersih serta aktiva dalam negeri bersih," ujar dia.
Pertumbuhan aktiva luar negeri bersih tercatat melambat, dari 2,7 persen (yoy) pada September 2019 menjadi 1,9 persen (yoy). Sementara itu, aktiva dalam negeri bersih pada Oktober 2019 tumbuh sebesar 7,9 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 8,6 persen (yoy).
Perlambatan pertumbuhan aktiva dalam negeri bersih terutama disebabkan oleh penyaluran kredit yang tumbuh lebih rendah, dari 8,0 persen (yoy) pada September 2019 menjadi 6,6 persen (yoy) pada Oktober 2019. Selain itu, tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat mengalami kontraksi sebesar -10,0 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya sebesar -7,5 persen (yoy).
"Perkembangan tersebut sejalan dengan peningkatan kewajiban sistem moneter kepada Pemerintah Pusat terutama dalam bentuk simpanan," kata Onny.
HENDARTYO HANGGI