TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan Nadiem Makarim membeberkan persoalan yang kerap dikeluhkan perusahaan kepada anak muda yang pertama kali masuk bekerja. Ia mengatakan keluhan perseroan soal sumber daya manusia relatif sama, apa pun bidang pekerjaannya, yaitu menyoal komunikasi, kedisiplinan, hingga kemampuan berpikir.
"Meski bidang perusahaannya technical competence-nya berbeda-beda, tapi komplainnya sama, yaitu (anak muda) tidak bisa komunikasi dengan baik, skill kolaborasi kurang baik, kurang baik dari sisi disiplin. Selain itu, soal follow up pekerjaan, soal ketepatan waktu, lalu tidak bisa membuat keputusan mandiri dan menyelesaikan masalah secara independen, serta kalau melakukan sesuatu enggak kritis," ujar Nadiem di Ballroom Ritz Carlton, Jakarta, Kamis, 28 November 2019.
Menurut dia, pelbagai persoalan itu bukan hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, tuturnya, negara seperti Amerika Serikat pun masih mengalami perkara yang sama. Sehingga, itu menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.
Nadiem menduga apa yang dilakukan oleh sistem pendidikan yang ada sudah ketinggalan. Sebab, pembelajaran dari tingkat pendidikan dasar hingga universitas pun belum berfokus kepada beberapa keahlian atau skill yang penting, seperti misalnya kolaborasi, komunikasi, hingga berpikir kritis.
Karena itu, menurut Nadiem, solusi yang perlu dilakukan adalah menggeser sistem pendidikan saat ini untuk menghasilkan kompetensi yang lebih baik. Namun, caranya dinilai sangat rumit, meski ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
"Pertama, bagaimana kita bisa expect murid-murid kita menjadi kreatif dan kolaboratif kalau mentor dan sekolah mereka tidak kreatif dan inovatif," ujar Nadiem. Di samping itu, ia melihat masih banyak aturan dan regulasi yang tujuannya baik, namun kurang tepat dalam pelaksanaannya.
Dalam kesempatan yang sama, Nadiem menyebut salah satu terobosan yang akan diambil adalah menerapkan kurikulum pendidikan yang fleksibel. Hal ini sejalan dengan rencana pemangkasan jumlah aturan dan regulasi, sembari meningkatkan jumlah layanan dan sumber daya kepada sekolah-sekolah.
"Kami pelayan bukan pengawas, kami bukan regulator saja tapi pelayan dan pembantu sekolah dengan dengan cara membuat fleksibiltias dalam kurikulum, fleksibilitas tata kelola organisasi di suatu sekolah," ujar Nadiem.
Nadiem menilai keberagaman Indonesia begitu besar. Sehingga, hal-hal semacam standardisasi justru berdampak buruk. Ia mengatakan Indonesia tidak bisa diatur dengan satu standar dan satu cara.
Contohnya saja untuk sebuah sekolah di Jakarta. Pelajaran matematika dan seni bisa dibarengi untuk anak kelas dua. Namun, di daerah lain bisa saja matematika dipelajari di kelas dua, namun seni di kelas enam.
Menurut Nadiem, selama ini kurikulum pendidikan di Tanah Air cenderung mengungkung. "Ini sistem administratif tidak ada kelonggaran, semua harus kejar silabus, harus tuntas, dan banyak yang tertinggal," tuturnya.
Dia mengatakan nantinya konsep yang ditawarkan adalah 'Merdeka Belajar'. Dia berharap semua instansi dalam rantai sistem pendidikan bisa merdeka dari aturan.
Dengan konsep tersebut, sekolah yang mulanya bersifat mengawasi akan berubah melayani. Selain itu, kemerdekaan guru guru bertransformasi menjadi kemerdekaan murid menentukan arah dan level yang cocok.
Konsep yang ditawarkan tersebut, kata Nadiem Makarim, bakal sangat berbeda dengan konsep yang diterapkan sekarang. Sehingga, ia menyadari bahwa konsep tersebut tidak mungkin tercapai dalam periode 5 tahun saja, melainkan butuh 10-15 tahun. "Ini adalah suatu path sistem pendidikan kita, dalam lima tahun ini kita akan mengganti prosesnya," ujar dia.
CAESAR AKBAR