Jika pemerintahan Jokowi hendak melanjutkan rencana pengembangan nuklir sebagai pembangkit listrik, Purnomo menyarankan untuk diadakan kajian dan survei ulang. Bagaimana penerimaan masyarakat untuk itu. "Saya nggak tahu posisi penerimaan masyarakat itu sekarang seperti apa pada nuklir,” kata Purnomo.
Mantan Menteri Pertahanan ini pun meminta pemerintah jika memang melakukan kajian atau survei ulang tak hanya berfokus pada satu titik di Gunung Muria. Tapi bisa dilakukan pada Kalimantan Barat serta Bangka Belitung yang dikabarkan bersedia menjadi daerah pertama yang memiliki PLTN di Indonesia. “Tak hanya survey, tapi pemerintah juga mengkaji kesiapan teknologi dan bahan bakunya."
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia Rinaldy Dalimy dalam forum itu menuturkan meski rencana pengembangan nuklir sudah tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional, namun PLTN akan tetap menjadi pertimbangan dan pilihan terakhir.
“Ada risiko dalam penerapan teknologi nuklir baik untuk persenjataan, pertanian, kesehatan maupun kelistrikan. Senjata berisiko ledakan, pertanian dan kesehatan berisiko pada limbah, energi listrik berisiko kecelakaan,” ujarnya.
Selain itu, keberadaan Indonesia yang berada di area ‘the ring of fire’ serta daerah rawan gempa menghadirkan ancaman bencana alam yang tidak bisa diprediksi dan membahayakan instalasi. Tidak hanya itu, penggunaan teknologi asing serta pembelian uranium akan meningkatkan subsidi listrik dan ketergantungan dengan negara lain. “Saya memastikan dalam 100 tahun ke depan, PLTN belum akan hadir di Indonesia,” ujarnya.
Ketimbang PLTN, Dalimy menyebutkan Indonesia bisa memanfaatkan beragam jenis energi terbarukan sebagai sumber pembangkit listrik. Mulai tenaga angin yang sudah dimanfaatkan di Sulawesi Selatan, kemudian ada tenaga ombak, hydrogen, tenaga air yang dielektrolisa, dan konversi energi termal lautan (OTEC) yang dimana Indonesia memiliki potensi besar ketiga di dunia. “Persoalan utamanya untuk mengelola energi itu dibutuhkan dana besar."