TEMPO.CO, Jakarta - Perum Badan Urusan Logistik (Persero) atau Bulog telah menyiapkan sejumlah strategi menghadapi krisis keuangan akibat tumpukan utang yang mencapai Rp 28 triliun hingga September 2019.
Adapun, strategi yang dimaksud antara lain menggenjot penjualan produk komersial dengan menambah varian produk, membuka toko daring PangananDotCom di berbagai platform e-commerce hingga mengadakan kerja sama penyediaan kebutuhan sehari-hari karyawan di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Kami punya utang dan ini adalah solusi bagaimana caranya kita mengatasi utang tersebut. Jadi tidak boleh malah menyalahkan utang. Ini adalah solusinya,” kata Dirut Bulog Budi Waseso saat meresmikan toko daring PangananDotCom di Jakarta, Selasa, 26 November 2019.
Tumpukan utang Bulog yang mencapai Rp 28 triliun merupakan ekses dari tidak maksimalnya mekanisme pelepasan beras yang telah diserap dari petani melalui operasi pasar atau program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) dan penyaluran program Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). Akibat utang tersebut, Bulog diketahui harus membayar bunga pinjaman sampai dengan Rp9 miliar setiap harinya.
Dari target operasi pasar sebanyak 150.000 ton per bulan atau 5.000 ton per hari, hanya sekitar 3.000 ton saja yang bisa dilepas ke pasar setiap harinya. Sementara itu, untuk program BPNT, realisasinya sejauh ini baru mencapai 7 persen dari total target penyaluran sebanyak 700.000 ton.
Budi Waseso atau Buwas melanjutkan pendapatan Bulog sebagian besar masih diperoleh dari penugasan pengadaan dan penyaluran beras pemerintah. Hal tersebut akhirnya membuat keuangan Bulog terseok-seok akibat kerugian yang harus ditanggung ditambah akumulasi utang sebelumnya.
Berdasarkan laporan keuangan 2018, tercatat kerugian yang harus ditanggung oleh Bulog mencapai Rp 961,78 miliar. Adapun sepanjang Januari-September 2019 tercatat kerugian sebesar Rp 955 miliar dari segmen Public Service Obligation (PSO) atau penugasan pemerintah.
“(Sekitar) 80 persen pendapatan Bulog masih diperoleh dari penugasan pemerintah, sisanya dari penjualan produk komersial. Ke depannya akan kita tingkatkan sampai dengan 50 persen (untuk pendapatan) dari kegiatan komersial. Tidak menutup kemungkinan nantinya bisa jadi 80 persen dari kegiatan komersial dan hanya 20 persen dari penugasan pemerintah,” katanya.
Sampai dengan saat ini, produk komersial yang dijual oleh Bulog baik secara luring maupun daring melalui berbagai platform dagang-el masih didominasi oleh produk beras premium dan khusus.
Saat ini, volume beras komersial yang diserap oleh Bulog dari petani diketahui sebanyak 170.000 ton dari total target penyerapan beras 2019 sebanyak 1,8 juta ton.
“(Untuk produk komersial) tidak hanya produk beras, ada produk-produk kebutuhan pangan lainnya, tetapi masih didominasi beras. Penambahan 50 varian beras komersial itu merupakan upaya untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa produk beras kami berkualitas,” ujar Buwas.
Buwas tak menampik bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang memandang sebelah mata terhadap produk Bulog. Jelas saja, selama ini Bulog lebih dikenal sebagai penyalur beras bantuan pemerintah mulai dari beras miskin (raskin), beras sejahtera (rastra), hingga BPNT yang kualitasnya terkadang kurang baik.
Kemudian, Buwas juga menyatakan bahwa Bulog tidak akan ragu untuk mengajukan pinjaman tambahan ke perbankan untuk keperluan pengadaan produk-produk komersial yang terdiri dari beras premium dan khusus, minyak goreng, tepung terigu, gula, garam, kornet, ikan sarden, hingga mi instan.
Pasalnya, pinjaman tersebut penggunaannya tidak dibatasi layaknya pinjaman yang diajukan Bulog untuk pengadaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
“Tidak masalah karena penyalurannya (untuk produk komersial) tidak seperti penugasan pemerintah. Bisa diputar kembali untuk modal. Tidak seperti pinjaman untuk pengadaan CBP yang penggunaannya harus sesuai izin (pemerintah) tetapi utang dan bunganya harus ditanggung Bulog,” katanya.