TEMPO.CO, Jakarta – Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Perekonomian Rizal Affandi Lukman mengatakan perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) bisa menarik sepertiga investasi langsung (foreign direct investment) dunia yang bisa dimanfaatkan Indonesia.
Pada 2018, Rizal mencatat total FDI di seluruh negara sebesar US$ 1.297,2 triliun. Untuk kawasan Asia Tenggara (ASEAN) + 6 negara mitra perjanjian dagang (FTA) mencapai US$ 422,2 trilun atau 32,5 dari FDI total.
“Untuk itu, kami terus berbenah karena bersaing. Investasi itu bisa floating around (mengambang) di negara-negara ini untuk memilih. Indonesia dapat menarik investasi langsung dari blok dagang terbesar di dunia,” ujar Rizal di Jakarta, Rabu 20 November 2019.
Putaran perundingan RCEP tinggal selangkah lagi. Setelah mencapai kesepakatan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-35 ASEAN di Bangkok beberapa waktu lalu, penandatanganan RCEP ditargetkan tahun depan. Setidaknya ada tiga isu penting dalam perundingan RCEP, yaitu perdagangan barang, perdagangan jasa, dan investasi. Rizal menyebutkan perundingan ini menjadi sangat penting karena dapat menjadi penyeimbang proteksi dagang sejumlah negara.
“Dengan membuka hubungan dagang yang lebih luas lagi maka Indonesia dapat menghindari ekonomi biaya tinggi. Juga membuka akses pasar bagi produk Indonesia seluas-luasnya,” ujar Rizal.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menuturkan RCEP merupakan perjanjian dagang dengan potensi besar dan risiko besar. Menurut dia, Indonesia akan punya risiko peningkatan impor yang tinggi pasca RCEP apabila pemerintah tidak cepat-cepat melakukan perbaikan iklim usaha dan iklim investasi nasional agar lebih berdaya saing.
“Kalau tidak, kita justru akan kehilangan peluang investasi dan peluang ekspor karena hampir seluruh negara ASEAN adalah kompetitor kita untuk ekspor dan investasi. Jadi, persaingan dagang dan investasi akan semakin ketat,” tutur Shinta.
Direktur Perundingan ASEAN Kementerian Perdagangan Donna Gultom menuturkan industri otomotif dan kimia akan memiliki potensi yang besar dari perjanjian tersebut. Namun, kata dia, peluang tersebut tidak akan membuahkan hasil jika Indonesia tidak mempersiapkan infrastruktur pendukung, salah satunya pelabuhan untuk ekspor.
“Jadi memang banyak hal yang harus kami siapkan. Korea sudah masuk permintaan farmasi, lalu otomotif juga kita harapkan bertambah dari Jepang,” ujar Donna.
Apabila masih ada sektor tersebut dinilai belum berdaya saing, Donna mengatakan pemerintah akan medorong investasinya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan kemampuan kita ekspor. Pemerintah, kata dia, akan terus mendorong sektor industri, khususnya industri dengan teknologi tinggi, tumbuh kembang sehingga memiliki nilai tambah. Ia berharap industri nasional masuk ke dalam proses rantai pasok produksi kawasan.