TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo menilai kehadiran teknologi digital berupa internet pada era saat ini memberikan tantangan sekaligus ancaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Benny menjelaskan, jika dahulu seluruh masyarakat Indonesia bergerak dengan ideologi yang sama yakni sama-sama ingin keluar dari penjajahan. Kini gerakan masyarakat justru dicurigai karena adanya sentimen SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Masyarakat, kata dia, jadi mudah digiring ke dalam opini yang bersifat emosional.
"Ini gara-gara teknologi sudah menjadi habitus, di mana rekayasa teknologi mampu menciptakan permusuhan di dunia maya,” kata Benny di Seminar Nasional bertajuk 'Perubahan Lingkungan dan Dinamika Komunikasi Kontemporer' di Jakarta, Rabu, 19 November 2019.
Di dalam seminar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara dengan media partner Tempo.co itu, Benny menyampaikan permusuhan di dunia maya pada akhirnya bisa memicu terjadinya kekerasan kemanusiaan karena menganggap keyakinan diri yang paling benar. “Jika hal ini terus dibiarkan, kehidupan yang majemuk pun semakin terancam,” katanya.
Sebagai solusi, Benny menyarankan, kepada masyarakat Indonesia perlu kembali kepada nilai-nilai Pancasila untuk menciptakan tata kelola publik, yang akan menjadi acuan dalam merawat Bhinneka Tunggal Ika.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Asosiasi Program Ilmu Komunikasi sekaligus Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhamad Sulhan. Menurut dia, dunia komunikasi di era digital kini tengah jadi primadona, namun masyarakat saat ini cenderung mempunyai risiko yang meliputi risiko fisik ekologis, sosial dan mental.
Jika ini yang terjadi, Sulhan khawatir akan muncul risiko Internet tak terjangkau hukum nasional, hegemoni media baru, dan tentunya akan ada eksploitasi penggunaan Internet itu sendiri. “Kegiatan komunikasilah yang mengantar ini semua dan saling memantulkan kebencian di antara kita,” ucapnya.
Sulhan menjelaskan, saat ini masyarakat Indonesia tengah membangun komunikasi simbolis lewat ambiguitas media sosial. Hal ini dianggap hal yang jamak karena dilakukan oleh hampir semua kalangan masyarakat.
Namun Sulhan menuturkan, sejatinya hal ini justru dianggap sebagai bagian dari kegiatan framing dan konstruksi sosial. Terkait hal itu, ia menyarankan supaya warga mengembangkan kearifan ekologis (ecological wisdom) seperti Pancasila dalam penggunaan teknologi.
Dengan begitu, bahasa komunikasi yang ditampilkan mampu membuka pola komunikasi yang baru, yang mampu membawa perubahan budaya yang berorientasi digital. “Kebenaran bersifat konseptual dan kontekstual. Hati-hati dengan pilihan kita,” ucap Sulhan.