TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) John Wempi Wetipo menyatakan pihaknya telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 11 triliun untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP pada tahun 2020. Anggaran itu untuk memfasilitasi 102.500 unit rumah pada 2020.
Selain itu, FLPP untuk membiayai Subsidi Selisih Bunga (SSB) sebesar Rp 3,8 miliar yang akan diberikan kepada akad SSB yang sudah berjalan. Selanjutnya, Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) Rp 600 miliar untuk 150 ribu unit rumah, Tapera/SMF untuk 8.460 unit rumah, dan BP2BT Rp 13,4 miliar untuk memfasilitasi 312 unit rumah.
Wempi menjelaskan, persaingan perolehan subsidi pembiayaan perumahan untuk tahun 2020 akan semakin ketat. "Oleh sebab itu, besar harapan saya agar realisasi pada 2020 dapat memberikan pilihan rumah yang paling berkualitas untuk MBR yang paling layak dapat bantuan,” ujarnya, Jumat, 15 November 2019 .
Sepanjang 2015 hingga Oktober 2019, Kementerian PUPR telah menyalurkan bantuan FLPP sebanyak 285.053 unit dan bantuan SSB sebanyak 656.468 unit. Adapun 10 provinsi dengan realisasi KPR bersubsidi terbesar adalah Jawa Barat, Banten, Kalimantan Selatan, Riau, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat.
Sementara itu, Direktur Layanan Lembaga Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (LPDPP) Kementerian PUPR Agusny Gunawan menyatakan mulai tahun depan skema pembiayaan SSB akan dihapuskan dan akan dialihkan ke skema FLPP. “SSB sudah tidak ada karena dialihkan ke FLPP agar bisa lebih fokus. Namun, SBUM, BP2BT, dan Tapera masih tetap berjalan,” katanya.
Sebelumnya Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi)Daniel Djumali menuturkan saat ini kuota pembiayaan rumah bersubsidi dengan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) skema FLPP telah habis. Hal ini, kata dia, akan berdampak pada kinerja perusahaan.
“Hal ini berpengaruh bagi arus pengembang, karena rumah yang sudah selesai dibangun tidak bisa diakadkan,” tutur Daniel kepada Tempo, Rabu 6 November 2019.
Daniel mencontohkan apabila ada 20 ribu unit rumah yang akan diakadkan dikali Rp 140 juta, artinya akan nada investasi yang tersendat sekitar Rp 2,8 triliun. Padahal, kata dia, sektor perumahan berkaitan langsung dengan 120 komponen bisnis lainnya, baik material, tenaga kerja, dan lainnya. Selain itu, Daniel menilai investasi dari luar negeri juga akan tersendat lantaran habisnya kuota rumah bersubsidi FLPP.
“Dalam sejarahnya, baru kali ini terjadi kelangkaan atau habis nya kuota rumah bersubsidi. Hal ini juga berdampak buruk bagi konsumen masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah membayar lunas uang muka, tapi tidak bisa ditempati atau diakad,” kata dia.
BISNIS | LARISSA HUDA