TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mempertimbangkan sejumlah masukan dari nelayan terutama soal perizinan. Budi mengatakan, terdapat perbedaan tentang kategori nelayan kecil dalam Undang-Undang Perikanan dan Undang-Undang Perlindungan Nelayan.
Dampaknya, nelayan dengan kapal berukuran di atas 5 GT harus mengurus izin ke provinsi dan dikenai redistribusi. "Saya kira ini perlu dievaluasi sinkronisasi Undang-Undang tersebut biar kita itu konkrit di lapangan,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Senin, 18 November 2019.
Budi juga meminta perhatian pemerintah untuk memberikan penyelesaian terhadap aturan alat tangkap perikanan. Menurutnya, aturan mengenai pembatasan alat tangkap yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPP-NRI seringkali masih menimbulkan perbedaan tafsir tentang alat tangkap ramah lingkungan antar nelayan.
Hal itu tak jarang menimbulkan pro-kontra antara nelayan di berbagai daerah yang berujung pada konflik. Tak hanya cantrang, ia mengatakan bahwa sebenarnya terdapat banyak modifikasi alat tangkap yang ada di daerah, terutama Jawa. Untuk itu, ia berharap agar pemerintah menyempurnakan peraturan yang ada sehingga tercapai kesepakatan yang dipatuhi seluruh nelayan di berbagai daerah di Indonesia.
“Penting untuk dievaluasi. Jadi jangan lihat satu sisi, tapi lihat banyak sisi,” ujarnya.
Merespon berbagai masukan yang disampaikan oleh nelayan, Edhy Prabowo menyatakan akan mempertimbangkannya dalam pengambilan keputusan ke depan. “Saya mau melibatkan pelaku karena keputusan itu dibuat untuk melindungi, mengatur, mengeksekusi setiap kegiatan yang melibatkan pelaku. Saya yakin diskusi hari ini tidak akan langsung menghasilkan. Tapi saya akan menimbang, merapatkan, dan saya juga akan terus action, terus kita jalankan,” kata Edhy Prabowo.
Ia pun berjanji akan mencari jalan keluar terbaik yang sebisa mungkin memperhatikan kebermanfaatan bagi seluruh stakeholder. “Memang tidak mudah untuk menyamakan suara jutaan nelayan kita. Tentunya tidak mudah, butuh proses. Tapi mohon kita semua saling memahami,” kata dia.
Di lokasi yang sama, sebelumnya, perwakilan PPNI lainnya, Aas, juga menyampaikan permohonannya agar pemerintah memberikan perlindungan akan perampasan ruang terhadap perempuan nelayan. Aas yang bermukim dan mencari penghidupan sebagai nelayan di Pulau Pari mengatakan bahwa reklamasi yang dilaksanakan di teluk Jakarta menyebabkan pendangkalan air laut. Akibatnya, lahan budidaya dan batu karang yang ada pun mati sehingga nelayan rumput laut setempat mengalami kesulitan.
“Nelayan butuh laut, butuh pulau-pulau kecil untuk berlindung dalam kondisi cuaca yang tidak baik. Banyak intimidasi yang kami rasakan sebagai nelayan. Sedangkan, ketika suami kami dikriminalisasi, perempuan lah yang mencari mata pencaharian sendiri untuk kehidupan anak-anak kami. Harapan saya, Bapak meninjau kembali ke sana (Pulau Pari),” ujarnya.
Selain itu, Aas juga berharap agar Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang diterbitkan oleh KKP dapat memberikan ruang usaha yang lebih luas bagi nelayan, di samping memfokuskan pembangunan di sektor wisata.
Adapun aliansi yang hadir yaitu Paguyuban Nelayan Jawan Tengah, Mitra Nelayan Sejahtera, Jaringan Nelayan Matahari Indonesia, Aliansi Nelayan Indonesia, Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI), Masyarakat Perikanan Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Serikat Nelayan Indonesia, Persatuan Nelayan Tradisional, Aliansi Penyuluh Perikanan Bantu, Koperasi Perikanan Laut Mina Sumitra, Himpunan Nelayan Tradisional, dan Kesatuan Pelaut Perikanan Indonesia (KPPI).