TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan bakal mempertimbangkan penurunan minimum pembelian surat berharga negara atau SBN. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan pihaknya bakal lebih dulu mengevaluasi pembelian SBN yang terealisasi selama setahun terakhir.
"Ke depannya kan akan ada evaluasi, terus assessment (penilaian). Kalau dimungkinkan marketnya, potensinya ada, tentu masuk pertimbangan juga," tutur Luky saat menjadi pembicara dalam diskusi Green Sukuk Investor Day di Grand Indonesia, Jakarta, Sabtu, 16 November 2019.
Luky mengatakan, sejatinya pemerintah telah menurunkan nilai minimum pembelian setelah menjual SBN secara online dalam beberapa tahun terakhir. Sejak SBN disebar melalui mitra di sejumlah platform digital, pemerintah memangkas nilai pembelian dari Rp 5 juta menjadi Rp 1 juta.
Namun, belakangan Kemenkeu memutar otak untuk kembali memecah nominal pembelian agar pangsa pasar SBN makin luas. Misalnya menurunkannya menjadi Rp 100 ribu atau Rp 50 ribu.
Kendati begitu, Luky mengatakan Kemenkeu tidak bisa langsung merealisasikannya lantaran mempertimbangkan beberapa kendala. Di antaranya biaya yang tinggi untuk administrasi, sistem, dan biaya mitra. "Kalau bicara, misalnya sukuk, kan kami bekerja sama dengan mitra disitribusi. Lalu kita atur mana yang akan dibayar ke bank ini, bank itu," ujarnya.
Penjualan sukuk di kalangan milenial tahun ini tergolong melonjak sejak diperdagangkan online. Pada 2018--yakni sejak sukuk pertama kali dipasarkan digital--pembelian oleh milenial bahkan sudah mencapai 45 persen. Sedangkan pada 2016, saat sukuk masih dipasarkan secara luring, milenial hanya menempati porsi 13 persen.
Kemenkeu mencatat, pasar sukuk tabungan via daring paling besar saat ini memang dari kelompok milenial. Sepanjang 2019, 54 persen penjualan sukuk terdistribusi untuk masyarakat generasi Y. Sedangkan sisanya dibeli oleh generasi X.