TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Andayani Budi Lestari memastikan tidak ada hubungan antara kenaikan iuran dan standar layanan BPJS Kesehatan karena standar layanan yang baik sudah ditetapkan.
"Jadi tidak ada hubungan dengan defisit dan layanan karena layanan rumah sakit itu sudah ada standarnya, di BPJS Kesehatan ada standar layanannya. Tapi kemudian dengan adanya kenaikan iuran ini kami akan berbuat (bekerja) lebih keras lagi," ujar Andayani, Rabu, 13 November 2019.
Sebelumnya, pemerintah sudah meresmikan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ketika Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres Nomor 75 Tahun 2019 pada akhir Oktober 2019.
Kenaikan sebesar 100 persen itu rencananya akan berlaku pada 1 Januari 2020 dan membuat iuran Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000, Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, Kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Langkah kenaikan iuran itu dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Pada 2018, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendapatkan defisit Rp 9,1 triliun dialami badan yang mengurus jaminan kesehatan nasional itu. Hasil itu menunjukkan sedikit penurunan setelah defisit sebesar Rp 9,7 triliun yang dialami oleh BPJS Kesehatan pada 2018.
Setelah kenaikan, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni, yang juga hadir di diskusi tersebut, memperkirakan dapat terjadi beberapa skenario seperti kenaikan peserta non-aktif, peserta yang menurunkan kelas rawat dan berkurangnya orang yang mendaftar.
Andayani mengatakan BPJS Kesehatan juga sudah memperkirakan segala kemungkinan yang ada pascakenaikan dan mengantisipasi hal tersebut. "Kami sudah menyiapkan regulasi dan sistem informasinya."
Jika ada pasien yang turun kelas BPJS Kesehatan karena bayar sendiri, menurut Andayani, tidak akan ada yang melarang. "Kan kalau untuk di rumah sakit medisnya tetap sama hanya kalau rawat inap saja, jadi kelas tiga," ujar Andayani.
ANTARA