TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia atau REI Totok Lusida mempertanyakan izin analisis dampak lingkungan atau Amdal untuk pembangunan properti di suatu kawasan yang acap berulang. Menurut dia, sistem demikian membuat pelaksanaan proyek tidak efektif.
"Sekarang ini kalau kita bangun area dan ruko, sudah kita bikinkan area satu kawasan ruko satu kompleks, setiap ruko dimintai amdal lagi. Akhirnya konsultan hanya copy-paste amdalnya,” ujar Totok saat dihubungi Tempo pada Rabu, 13 November 2019.
Ia memberi contoh bahwa hal yang sama terjadi untuk pembangunan mal atau pusat perbelanjaan. Menurut Totok, kendati pihak pengembang sudah mengantongi Amdal untuk pembangunan mal, pemerintah daerah umumnya akan meminta amdal lagi untuk pengadaan stan-stan di dalam kawasan tersebut.
Menilik kasus ini, Totok memandang pengusaha kerap tak bisa dilepaskan dengan sistem birokrasi yang berbelit-belit. Ia lantas meminta pemerintah mengkaji ulang sistem penerbitan Amdal dengan memutus beberapa mata rantai pengurusan izin. Ia juga meminta pemerintah menimbang kembali permintaan izin Amdal yang berulang untuk proyek dalam satu kawasan yang sama.
"Kawasan itu kan sudah ada rencana detail. Buat apa diulang-ulang amdalnya?” ujarnya.
Ia juga menyatakan mendukung pemerintah untuk menyederhanakan atau menghapus izin Amdal. Sebelumnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) berencana menghapus Amdal dan IMB dari daftar syarat yang dibutuhkan dalam proses pengurusan izin investasi.
Penghapusan tersebut bertujuan untuk memudahkan pengusaha dalam berinvestasi di Indonesia. Meski dihapus, Menteri ATR/ Kepala BPN Sofyan Djalil memastikan pemerintah tak akan mengorbankan kualitas tata ruang dan keberlanjutan lingkungan.
"Idenya kan ada RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). Kalau RDTR sudah ada kan semua sudah dipertimbangkan tapi kan kontroversi kemarin, akhirnya barangkali kita harus teliti lebih lanjut," kata Sofyan di Istana Negara dua hari lalu.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | ANTARA