TEMPO.CO, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) menyepakati harga jual bijih mentah atau ore nikel ke smelter atau pabrik pengolahan dalam negeri sebesar US$ per metrik ton. Harga ini lebih rendah ketimbang harga yang diusulkan para penambang di APNI yaitu sekitar US$ 36 metrik ton.
“Itu semua tadi sepakat, tidak ada yang tidak,” kata Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers usai menggelar pertemuan dengan 47 perusahaan dari APNI dan AP3I di Kantor BKPM, Jakarta Selatan, Selasa, 12 November 2019.
Usai pertemuan ini, Bahlil menyatakan pemerintah dan pengusaha sepakat, tidak ada lagi ekspor ore nikel per 1 Januari 2020, sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019.
Penetapan harga dilakukan setelah pemerintah mempercepat larangan ekspor ore nikel ini dari jadwal yang tertuang dalam Permen ESDM. Di sisi lain, saat ini sudah ada 37 perusahaan yang telah mengantongi izin pembangunan smelter. Sebab, Undang-Undang Mineral dan Batubara mewajibkan perusahaan memiliki smelter sebagai syarat mengekspor ore nikel.
Dari 37 perusahaan ini, ada 9 perusahaan yang akan melakukan ekspor hingga batas waktu 1 Januari 2020. Mereka juga telah mengantongi izin ekspor dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Sementara 2 perusahaan lain yang juga telah mengantongi izin Kemendag, tengah dikaji oleh BKPM untuk bisa mengekspor.
Sisanya yaitu 26 perusahaan tidak mengajukan ekspor ore hingga akhir tahun ini. Sehingga, Bahlil berkesimpulan 26 perusahaan tersebut dan para penambang nikel sepakat untuk mengolah ore di smelter dalam negeri. Bahlil mengklaim, perusahaan ini memiliki kesadaran sendiri untuk menghentikan ekspor lebih awal, bukan karena paksaan dari pemerintah.
Adapun harga US$ 30 per metrik ton ini yang disepakati, merupakan hasil dari harga internasional dikurangi ongkos kirim, transit, dan pajak. US$ 30 per metrik ton merupakan harga maksimal, yang hanya berlaku hingga tanggal larangan ekspor 1 Januari 2020. Bahlil mengakui rapat berikut pembahasan harga ini sempat memanas karena adanya banyak perbedaan pendapat. “Tapi berakhir dengan lembut,” kata dia.
Bahlil mengatakan kesepakatan harga US$ 30 ini merupakan keputusan secara mufakat dan musyawarah. Ia percaya diri, kesepakatan ini tidak memerlukan Surat Keputusan (SK) segala. Sebagai seorang mantan pengusaha, Bahlil mengatakan dalam bisnis, banyak kesepakatan yang tidak dituangkan dalam surat, tapi tetap berjalan. “Ga usah lagi bicara surat menyurat, intinya, kami pengusaha nikel sepakat tidak ada lagi ekspor ore di 2020,” kata dia,
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin membenarkan harga ore nikel untuk smelter dalam negeri yang diusulkan APNI dalam rapat, lebih tinggi dari ketetapan US$ 30 per metrik ton. Sebab, harga internasional saat ini yaitu sekitar US$ 46 per metrik ton dan biaya ongkos kirim, transit, dan pajak sekitar US$ 10 per metrik ton. Kendati demikian, APNI telah sepakat dengan harga yang ditetapkan dalam rapat bersama BKPM ini. “Daripada ore kami tidak terserap,” kata dia.
Menurut Meidy, para penambang sangat mendukung upaya pemerintah melakukan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah dari nikel. Namun, ia meminta para penambang tidak terus ditekan dengan ditutupnya larangan ekspor per 1 Januari 2019. Kini, APNI siap mengikuti kesepakatan yang telah dicapai. Sebab, pengusaha smelter juga sepakat untuk menyerap hasil produksi mereka dengan kandungan nikel di bawah 1,7 persen.
Sekretaris Jenderal AP3I Haykal Hubeis tidak banyak berkomentar dalam konferensi pers ini. “Kami akan laksanakan sesuai dengan apa yang disepakati,” kata dia
FAJAR PEBRIANTO