Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan Sekar Putih Djarot mengapresiasi semakin banyak layanan digital Perbankan. OJK berharap digitalisasi terus mempermudah nasabah melakukan transaksi investasi tanpa harus ke bank.
Kementerian Keuangan mencatat penerbitan obligasi ritel telah mencapai Rp 48,43 triliun dan jumlah akun ritel tercatat 430.111 investor. Sepanjang tahun ini pemerintah menargetkan penerbitan surat berharga negara senilai Rp 825,7 triliun melalui 24 kali lelang.
Hingga 1 November, total surat berharga negara outstanding Rp 3.985 triliun. Dari jumlah tersebut porsi surat berharga negara ritel masih kecil, yakni baru 2,94 persen. Sisanya surat berharga negara dibeli investor asing dan nasabah institusi (Perusahaan). Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan, Loto Srinaita Ginting mengakui pembelian investor ritel tidak dapat dibandingkan dengan pembelian institusi melalui lelang penerbitan maupun di pasar sekunder.
"Sehingga wajar apabila secara persentase proporsi volume penerbitan SBN ritel masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan SBN regular (SBN non ritel)," kata dia. Loto optimistis semakin banyak masyarakat Indonesia yang berinvestasi di SBN ritel setelah melek investasi . “Kami akan terus membuka lebih banyak ruang yang semakin memudahkan dan menarik bagi investor domestik untuk masuk ke pasar SBN."
Tren imbal hasil surat berharga negara, termasuk surat berharga ritel, ke depan secara umum dinilai tetap menarik pembeli, khususnya investor asing dan institusi. Apalagi tren penurunan bunga acuan juga terjadi di hampir seluruh negara di dunia. Penurunan bunga acuan ini menyebabkan imbal hasil surat utang masing negara ikut rendah. “Dibandingkan negara lain di Asia, bunga surat berharga pemerintah Indonesia juga masih tertinggi, jadi tidak ada alasan investor menahan pembelian surat berharga negara," kata Bhima Yudhistira Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Direktur Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuanan Luky Alfirman saat meluncurkan surat utang berharga negara (SBN) syariah seri Sukuk Tabungn ST-003 di Restoran Bunga Rampai, Jakarta Pusat, Jumat 1 Februari 2019. TEMPO/Dias Prasongko
Untuk surat berharga dengan tenor (jangka waktu pencairan) 10 tahun, Indonesia mengalahkan India, Korea Selatan, Thailand, Filipina dan Malaysia. Imbal hasil surat berharga Indonesia 7,29 persen dalam setahun. Analis dari Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C Permana menuturkan salah satu penentu keberhasilan penjualan surat berharga negara ritel adalah jumlah kupon suku bunga dan makin sadar masyakarat atas pentingnya investasi.
Fikri yakin surat berharga negara ritel masih prospektif pada tahun depan karena imbal hasil lebih tinggi dari produk investasi dengan resiko identik, seperti deposito atau reksa dana pasar uang. Perencana keuangan dari Jouska Indonesia, Aakar Abyasa Fidzuno, menilai terbukanya akses pembelian obligasi ritel membuat masyarakat semakin sadar dengan pentingnya investasi. Tak hanya bank dan perusahaan efek, puluhan fintech dan e-commerce pun menjadi Mitra Distribusi (Midis) penjualan surat berharga negara. Mulai dari platform Tanamduit, Investree, Bareksa, Tokopedia dan Bukalapak.
Daya tarik instrumen investasi ini tak hanya sebatas imbal hasil atau tingkat kupon yang ditawarkan. “Investasinya mudah, tingkat risiko rendah, jangka waktu yang relatif pendek, dan nominal investasi yang sangat terjangkau,” ujar Teddy Satriadi Suardi Assistant Vice President Head of Product Development Wealth Management Division PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Surat berharga ritel yang dijamin oleh negara ini rata-rata dijual mulai dari harga Rp 1 juta dan memiliki tenor tiga tahun.
Pemerintah berencana meluncurkan lagi surat berharga ritel tahun depan. Jumlahnya volume dan seri-nya masih disiapkan dan menunggu finalisasi strategi pembiayaan surat berharga negara tahun 2020.