Juru bicara Ditjen Pajak Hestu Yoga Sukma, optimistis dana repatriasi yang akan jatuh tempo tetap berada di Indonesia. Pasalnya, hasil imbal balik investasi portofolio seperti suku bunga, surat berharga dan obligasi swasta di Indonesia lebih baik dibanding negara lain. Pemerintah juga memberi gula-gula insentif fiskal ke investor, seperti tax holiday. "Dana asing yang masuk sejak awal tahun Rp 195 triliun juga masih di Indonesia," kata dia.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja, menuturkan tidak banyak dana repatriasi yang masih terparkir di BCA. Direktur BCA Santoso memperkirakan kurang dari 15 persen dari dana repatriasi yang disimpan berupa uang tunai dan produk perbankan yang likuid seperti deposito. Sisanya, kata dia, telah digunakan nasabah untuk ekspansi bisnis, melunasi utang, belanja modal, obligasi hingga saham. BCA adalah bank nasional terbesar yang menampung repatriasi, yakni sekitar Rp 40 triliun.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja saat mencoba mesin CS Digital dan mengganti kartu BCA magnetic menjadi kartu BCA berteknologi chip hasil kerja sama dengan Mastercard. Tempo/M JULNIS FIRMANSYAH
Direktur Konsumer Bank Mandiri Hery Gunardi menuturkan sejauh ini belum ada nasabah yang melakukan penarikan dana repatriasi. Bank Mandiri menawarkan imbal hasil dalam produk investasi untuk mempertahankan dana repatriasi. Seperti investasi berdenominasi dolar, seperti obligasi hingga pengelolaan dana berbasis dolar, diversifikasi portofolio offshore melalui Bank Mandiri cabang Singapura dan pilihan global bonds.
Sekertaris Perusahaan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Hary Purnomo menuturkan perseroan memiliki beragam instrumen produk keuangan untuk menjaga hasil dana repatriasi. Salah satunya bunga deposito, penjualan obligasi BRI untuk korporasi dan ritel.
Ketidakpastian ekonomi global, kata Kepala Group Kebijakan Makro Prudential Bank Indonesia Retno Ponco Widarti, akan berpengaruh pada aliran modal. Karena itu, bank sentral memperkuat cadangan devisa dan menjaga selisih suku bunga sebagai bagian dari resilensi faktor eksternal. Hingga masa tahan repatriasi periode terakhir selesai, kata dia, secara fundamental kondisi ekonomi Indonesia masih bagus.
"Dana repatriasi sejauh ini masih terjaga, tidak perlu ada kecemasan berlebihan," kata dia. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Budi Armanto menilai potensi dana repatrasi kabur belum ada. "Di luar juga kondisinya tidak sebaik di Indo, sehingga kemungkinan keluar kecil."
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, pemerintah perlu membuat instrumen investasi jangka panjang yang menarik untuk 'mengikat' dana repatriasi. Seperti instrumen dana investasi real estat (DIRE) atau real estate investment trust (REITs).
Dia mengakui imbal hasil surat utang pemerintah lebih tinggi dari negara lain. Namun Vietnam dan Thailand lebih unggul untuk urusan foreign direct investment (FDI atau penanaman modal asing secara langsung) karena sarat insentif.
Kepastian hukum dan iklim bisnis, kata dia, masih menjadi pekerjaan besar pemerintah untuk membuat pemodal merasa aman menempatkan uangnya di pemerintah. Yustinus berpendapat, kondisi riil dana repatriasi berbanding lurus pada kondisi ekonomi dan politik Indonesia di akhir tahun. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmaja berpendapat imbal balik investasi surat utang di Indonesia lebih baik dari negara lain. Karena itu, investor masih mempunyai alasan untuk menyimpan dananya di Indonesia.
"Jika mencari yield (imbal balik surat utang), di dalam negeri sudah cukup menarik. Tetapi jika mereka tidak merasa aman dananya di dalam negeri ya enggak bisa dicegah," kata Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA.