Kabupaten Konawe misalnya, pada 2015 dan 2016 melapor 100 persen desa cair. Namun, dari 241 desa tersebut, ada Desa Ulu Meraka, Kecamatan Lambuya yang tidak mendapatkan dana desa. "Inilah yang disinyalir desa hantu selama ini," kata Budi.
Pada 2017 terdapat tambahan kode desa resmi dari Kemendagri untuk 56 desa di Konawe. Dana desa cair 100 persen juga. Namun, ada tiga desa yang tidak melakukan pencairan, yaitu Desa Ulu Meraka, Kecamatan Lambuya, serta Desa Uepai dan Desa Moorehe, Kecamatan Uepai. Budi menyebut desa itu adalah tambahan desa hantu di lapangan.
Ketiga desa tersebut juga tidak mencairkan dana desa pada 2018. Pada tahun yang sama ada empat desa lain yang tidak mencairkan hingga 100 persen. Yaitu, Desa Napooha dan Desa Arombu Utama, Kecamatan Latoma, Desa Leretoma, Kecamatan Anggaberi, dan Desa Wiau, Kecamatan Routa.
Pada tahun 2019 ini, tiga desa hantu pertama sudah dihilangkan dari daftar penerima dana desa. Namun, ujar Budi, empat desa terakhir di atas masih belum mencairkan dana desa sama sekali, sehingga terindikasi fiktif juga.
"Seluruh dana desa dari APBN yang masuk ke kas kabupaten tersebut tidak pernah kembali. Artinya, harus dicek pada kas daerah yang bersangkutan," tutur Budi.
Budi mengatakan bahwa Proses perencanaan pengalokasian dana desa selama ini dilakukan melalui kerja sama antar kementerian. Kementerian Dalam Negeri menentukan jumlah dan lokasi desa yang akan mendapatkan dana desa pada tahun berikutnya.
Jika ada keberatan terhadap desa-desa tertentu sesuai laporan masyarakat dan pendamping, ujar Budi, maka akan dibawa ke dalam rapat di Kemenko PMK (Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Misalnya soal pertanyaan mengenai jumlah penduduk dan luas desa, rumah tangga miskin, hingga jarak berbagai fasilitas desa.