TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Nihayatul Wafiroh, mengeluhkan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid yang diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi ini mengesahkan rencana pemerintah menaikkan premi iuran BPJS Kesehatan di seluruh segmen peserta.
Nihayatul mengatakan terbitnya perpres tersebut menyeleweng dari hasil rapat dengar pendapat dengan legislatif. Sebelumnya, dalam rapat pada 2 September lalu, seluruh anggota Komisi IX sepakat meminta pemerintah tidak menaikkan premi BPJS Kesehatan khusus bagi peserta mandiri kelas III.
“Saya merasa Komisi IX ini sudah tidak ada harganya lagi. Hasil rapat September lalu, kami meminta pemerintah tidak menaikkan iuran untuk kelas III, tapi ternyata Perpres tetap terbit,” ujar Nihayatul di kompleks Senayan, Jakarta, Rabu, 6 November 2019.
Nihayatul mengatakan upaya pemerintah mengerek premi asuransi kesehatan, khususnya untuk kelas III, masih menuai perdebatan. Apalagi, sesuai dengan Perpres itu, besaran iuran di seluruh segmen naik 100 persen dari besaran semula.
Ia lalu mengancam komisinya tak bakal menggelar rapat lagi dengan BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan semisal pemerintah tidak mencabut Perpres. “Sepakat Bapak-bapak, Ibu-ibu?” tutur Nihayatul meminta kesepakatan anggota Komisi IX setelah melontarkan ancaman.
Pertanyaan itu dijawab serempak oleh anggota komisi. “Setuju,” ujar mayoritas anggota Dewan. Meski demikian, pimpinan sidang belum mengetok permintaan anggota sidang lantaran kewenangan mengesahkan kenaikan iuran berada di tangan Presiden Jokowi.
Hingga berita ini ditulis, rapat dengar pendapat masih berlangsung. Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan belum memberikan tanggapan terkait pernyataan anggota Komisi IX DPR.
Berdasarkan catatan Tempo, pada rapat 2 September lalu, DPR meminta pemerintah lebih dulu membenahi data peserta iuran jaminan kesehatan melalui data cleansing sebelum menaikkan premi. Sebab, DPR mensinyalir banyak masyarakat miskin yang masih membayar premi secara mandiri.
Sebaliknya, tidak semua peserta penerima bantuan iuran merupakan masyarakat miskin. DPR juga meminta pemerintah membenahi data penerima bantuan JKN sesuai dengan hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tahun 2018. Saat itu tercatat masih ada 10.654.539 peserta JKN yang bermasalah
Di sisi lain, Kementerian Sosial mencatat telah menon-aktifkan 5 juta peserta penerima bantuan JKN sepanjang Agustus yang tidak terdaftar dalam data terpadu. Sebanyak 5 juta penerima bantuan itu memiliki nomor induk kependudukan yang valid dan terhitung tidak pernah mengakses fasilitas kesehatan.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA