TEMPO.CO, Jakarta - Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menilai besaran kenaikan upah minimum sebesar 8,51 persen pada 2020 tidak berarti apa-apa. Sebab, buruh dihadapkan dengan beberapa kenaikan seperti iuran BPJS Kesehatan.
"Besaran kenaikan yang kecil tersebut tidak dapat mendorong tingkat produktivitas dan kompetensi para buruh/pekerja, apalagi tahun depan buruh dihadapkan dengan kenaikan iuran BPJS, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dikarenakan fluktuasi harga minyak dunia," kata Ketua Departemen Lobby & Humas KSBSI Andy William Sinaga di Jakarta, Rabu, 6 November 2019.
Oktober lalu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri meneken Surat Edaran kepada Gubernur se-Indonesia ihwal kenaikan upah minimum pada 2020. Berdasarkan surat edaran tersebut, kenaikan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota tahun depan dipatok 8,51 persen.
Menurut Andy, daya beli buruh akan berkurang dikarenakan besaran upah riil yang diterima tidak dapat menutupi kebutuhan tambahan para pekerja, seperti pendidikan, transportasi, hiburan dan kemampuan buruh untuk menabung juga sangat terbatas.
"Sebagai contoh buruh di sekitar Jakarta, dengan anak dua orang yang bersekolah, bayar kontrakan, transportasi dan kebutuhan sehari-hari sangatlah kurang," kata dia.
KSBSI mengusulkan pemerintah memikirkan skenario alternatif untuk meningkatkan pendapatan pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari - hari.
Bisa saja para buruh yang terdaftar di kantor kementerian atau dinas ketenagakerjaan mendapatkan bantuan dana, atau mendukung pendirian koperasi pekerja di setiap perusahaan, di mana buruh bisa membeli kebutuhan hidup sehari-hari dengan harga terjangkau.
Selain itu koperasi buruh juga bisa menyediakan simpan pinjam untuk buruh yang bekerja di perusahaan.
"Apabila tidak ada skenario alternatif pemerintah dalam membackup kenaikan upah yang kecil tersebut, mustahil penghidupan dan pekerjaan layak para buruh dapat tercapai," kata dia.
ANTARA