TEMPO.CO, Bangkok - Pemerintah Amerika Serikat tetap menganggap Indonesia sebagai mitra yang sangat penting bagi negaranya kendati pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi cukup mesra dengan Beijing. Pernyataan tersebut disampaikan pejabat AS, merespons hubungan Indonesia-Cina yang semakin erat, saat negara tirai bambu itu masih terlibat perang dagang dengan Amerika.
“Masih ada banyak peluang dan bisnis bagi pihak swasta di negara seperti Indonesia,” kata Under Secretary for Economic Growth, Energy, and Environment, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Keith Krach dalam konferensi pers di ajang Indo-Pacific Business Forum (IPBF) di Bangkok, Thailand, Senin, 4 November 2019.
Menurut Krach, sejumlah peluang masih terbuka lebih bagi perusahaan Amerika Serikat untuk ambil bagian di Indonesia. Mulai dari sektor energi, pendidikan, hingga sosial.
Saat ditanya apakah Amerika akan membatasi hubungan dengan Indonesia karena terlalu dekat dengan Cina, Krach hanya menjawab secara normatif. “Indonesia bisa menentukan siapa mitra yang mereka inginkan,” kata dia.
Namun, Krach menggarisbawaho, Amerika Serikat sangat menghargai kedaulatan sebuah negara saat berhubungan. Ketika melakukan bisnis dengan perusahaan Amerika, maka yang ingin dicari adalah apa yang terbaik untuk negara mitra. “Jadi tergantung anda ingin berbisnis dengan siapa?” ujarnya,
Saat ini, Indonesia memang telah tergabung dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI), atau yang sebelumnya bernama One Belt One Road Initiative (OBOR). Proyek milik Cina ini memiliki nilai lebih dari US$ 91 miliar atau Rp 1.288 triliun ini.
Dalam proyek ini, Indonesia menjalin 20 kerja sama yang diharapkan akan memberikan keuntungan. Sementara bagi Cina, proyek ini penting untuk membuka keran konektivitas dagang antar-negara di Eropa dan Asia melalui jalur sutra maritim.
Acting Assistant Secretary for South and Central Asian Affairs, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Alice Wells, mengingatkan hal lain seperti, apakah pembangunan tersebut memiliki nilai proyek yang layak, apakah meningkatkan kualitas lingkungan, dan apakah kemampuan untuk membayar pinjaman ke Cina cukup. “Tapi kamu tidak meminta negara lain untuk memilih antara Amerika atau negara lain (sebagai mitra),” kata dia.
Akan tetapi, Alice mengatakan bahwa Amerika memiliki kemampuan yang lebih terkait pembangunan infrastruktur, yang tentunya sesuai dengan standar G20. Amerika ingin menyampaikan pesan bahwa selain Cina, masih ada opsi kerja sama dengan negara lain, termasuk negaranya. “Yang menawarkan negara anda pilihan terhadap pembangunan infrastruktur berkualitas tinggi,” kata dia.
Sementara itu, Deputy Administrator U.S. Agency for International Development (USAID) Bonnie Glick, mengatakan negaranya memiliki perhatian pada seluruh kerja sama yang dilakukan dalam proyek jalur sutera Cina. Akan tetapi, Ia menawarkan opsi alternatif yaitu kerja sama dengan Amerika, maupun negara lain. “Kami tidak bilang, jangan terlibat dengan Cina sama sekali, yang ingin kami katakan adalah masih ada opsi lain di luar sana,” kata dia.