TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik menyatakan industri pengolahan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi kuartal III 2019 yang tumbuh sebesar 5,02 persen.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto menyatakan, jika dibandingkan dengan kuartal III 2019, pertumbuhan tertinggi dari industri pengolahan ini bersumber dari lapangan industri pengolahan sebesar 0,86 persen (yoy).
Pertumbuhan ini diikuti perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 0,63 persen (yoy), sektor konstruksi sebesar 0,56 persen (yoy), dan informasi komunikasi sebesar 0,47 persen (yoy). Sisanya, pertumbuhan ekonomi kuartal III/2019 bersumber dari lapangan usaha lain sebesar 2,50 persen (yoy).
Suhariyanto mengatakan industri makanan dan minuman, tumbuh sebesar 8,33 persen (yoy), didukung peningkatan crude palm oil (CPO) yang meningkat sejalan dengan konsumsi domestik CPO. Industri furnitur juga tercatat tumbuh 6,93 persen (yoy) didorong oleh meningkatnya permintaan dari luar negeri.
Dia menambahkan, kontraksi terjadi pada industri karet, barang dari karet dan plastik karena menurunnya permintaan ekspor akibat perang dagang. BPS menyebut sektor ini mengalami kontraksi -3,42 persen (yoy).
Sektor lain yang juga mengalami kontraksi adalah industri alat angkutan, sebesar -1,23 persen (yoy), dan industri pengolahan secara khusus untuk industri batu bara dan pengilangan migas pada kuartal III 2019 juga tercatat kontraksi sebesar -0,74 persen akibat menurunnya produksi LNG, LPG, dan BBM.
“Selama kuartal III 2019 ini harga komoditas migas dan non migas di pasar internasional juga mengalami penurunan secara year-on-year, maupun quarter-to-quarter,” kata Suhariyanto di BPS, Selasa (5/11/2019).
Dia menjelaskan sebagai contoh harga minyak ICP turun dari US$ 65,79 per barel pada kuartal II 2019 menjadi US$ 59,81 per barel pada kuartal III 2019. Atau secara (qtq), harga minyak mentah Indonesia ini menurun 9,09 persen, dan dibandingkan dengan harga pada kuartal III/2018 tercatat US$71,64 per barel maka terjadi penurunan 16,51 persen secara (yoy).
Suhariyanto menyatakan, pertumbuhan 5,02 persen ini masih terbilang cukup baik pada saat ekonomi regional mengalami ketidakpastian akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Indonesia masih cukup tahan pada ketegangan perang dua negara yang tercatat sebagai mitra dagang utama Indonesia.
BISNIS