TEMPO.CO, Jakarta - Industri manufaktur melemah tertekan rendahnya permintaan terhadap barang produksi dalam negeri. Laporan IHS Market mengenai Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan tren turunnya permintaan tersebut.
Kepala Ekonom IHS Market Bernard Aw menyatakan PMI Indonesia pada Oktober 2019 berada di level 47,7. Posisinya terus merosot sejak Mei 2019. Indeks tersebut bahkan mendekati posisi terendah sejak November 2015 yang mencapai 46,4.
Bernard menuturkan permintaan terhadap barang terus melemah hingga memicu produksi menurun. "Ada laporan juga mengenai kenaikan inventaris barang tidak terjual yang berpotensi semakin mengurangi jumlah produksi di bulan-bulan berikutnya," kata dia dalam laporan tersebut, seperti dilansir Koran Tempo, Senin 4 November 2019.
Di tengah kondisi ini, Bernard mengatakan pengusaha harus menghadapi sejumlah tantangan seperti mengurangi belanja dan pengurangan jumlah pegawai. Pengusaha juga diperkirakan harus memotong harga jual barang.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyatakan pelemahan di sektor manufaktur ini merupakan tren lanjutan perlambatan industri tersebut sejak tiga tahun terakhir. "Ada gejala de-industrialisasi dini karena faktor pendorong industri manufaktur tidak bisa berjalan dengan optimal," kata dia.
Koordinasi antar kementerian menjadi salah satu pemicu de-industrialisasi. Yusuf mencontohkan kebijakan mengenai harga gas khusus industri yang lamban diimplementasikan karena koordinasi Kementerian Energi dan Kementeri Perindustrian yang rendah.
Dia juga menyoroti kurangnya dukungan pemerintah terhadap pembiayaan industri manufaktur di Indonesia. "Tanpa dorongan likuiditas, sulit bagi bagi industri manufaktur berkembang," ujarnya. Dalam konteks industri tekstil misalnya, hampir 30 persen mesin produksi tekstil sudah berumur lebih dari 30 tahun. Mesin-meisn tua itu menghambat daya saing. Di sisi lain, banyak pengusaha kesulitan membeli alat baru yang mahal di tengah permintaan yang menurun dan banjirnya produk impor murah di pasar.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menyatakan pelemahan perekonomian global juga mempengaruhi industri manufaktur. Kinerja ekspor tertahan, terutama karena perang dagang. "Manufaktur kita masih sangat tergantung order dari luar negeri sehingga begitu pesanan turun ekspansi ke pasar baru tak mudah dilakukan," katanya. Para pengusaha dinilai perlu lebih antisipatif terhadap risiko permintaan dari luar negeri tersebut.
Selain membantu negosiasi pembukaan pasar baru, Eko menilai pemerintha perlu membenani sistem pengupahan dengna berfokus pada upah produktif. Masalah tingginya upah pekerja menjadi salah satu hambatan terbesar di dalam negeri. Selain itu, infrastruktur logistik masih perlu ditambah untuk mempermudah distribusi barang. Harga energi seperti listrik dan gas pun perlu dikaji kembali agar lebih kompetitif sehingga bisa mengurangi biaya produksi.
Dalam lima tahun ke depan, industri manufaktur menjadi salah satu prioritas pemerintah. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menyataka telah menyiapkan sejumlah strategi agar produktivitas industri tersebut meningkat, tak hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik tapi juga ekspor. Salah satunya dengan menerapkan peta jalan teknologi industri 4.0. "Misalnya menggunakan internet of things atau artificial intelligence," katanya.