TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan fenomena penyusutan globalisasi yang terjadi saat ini diiringi oleh meroketnya fenomena digitalisasi. Kedua paradigma ini akan berpengaruh pada perkembangan perekonomian nasional ke depan.
"Dinamika ekonomi dan keuangan global yang kita hadapi sekarang adalah diminishing globalization, rising digitalization," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam Seminar Nasional Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) yang digelar di Jakarta, Sabtu, 2 November 2019.
Perry menjelaskan, pada saat ini terjadi penurunan dorongan untuk melakukan globalisasi, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ada gerakan akselerasi digitalisasi. Kini ada tendensi perdagangan global lebih mengarah ke dalam negeri, berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang lebih mendorong perdagangan dan investasi antarnegara.
Pada saat ini, kata Perry, terjadi antitesis globalisasi yang implikasinya seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina. "Ini refleksi antiglobalisasi dari negara-negara maju. mereka tidak bisa bersaing dengan produk-produk murah negara berkembang," katanya.
Untuk itu, menurut Perry, pertanyaan besarnya adalah bagaimana pemangku kepentingan perekonomian nasional bisa tetap relevan. Caranya dengan mencari sumber perekonomian baru yang belum berkembang serta belum digarap dengan baik di dalam negeri.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan sebelumnya menyatakan kebijakan pro-investasi kalau benar-benar dijalankan secara konsisten oleh pemerintah bakal menekan potensi resesi akibat fenomena ketidakpastian global saat ini. "Pemerintah perlu terus meningkatkan kebijakan pro investasi untuk mendorong masuknya foreign direct investment ke dalam negeri," katanya.
Pingkan mengingatkan bahwa Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merevisi pertumbuhan ekonomi global dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen. Sebelumnya hal serupa juga sudah dilakukan oleh dua lembaga keuangan dunia lainnya, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia.
Menurut Pingkan, terjadinya revisi pada perkiraan pertumbuhan ekonomi global nampaknya sudah sangat sebagai dampak dari volatilitas keadaan pasar di tengah gejolak ekonomi global. "Ketegangan geopolitik dan beberapa faktor yang disebutkan sebelumnya memang bergerak sangat dinamis pada paruh pertama tahun ini," ujarnya.
Sehingga, kata dia, hal itu membuat badan-badan ekonomi internasional tersebut melakukan proyeksi ulang perdagangan global berdasarkan dengan perkembangan situasi yang ada. "Hal ini pun kian memperkuat premis akan adanya resesi global dalam waktu dekat," katanya.
ANTARA