TEMPO.CO, Jakarta - Data pangan seringkali menjadi polemik antar-kementerian karena ada beberapa lembaga mempunyai data tersebut seperti Badan Statistik Nasional (BPS), Kementerian Pertanian, dan Bank Indonesia (BI). Meskipun demikian, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso atau Buwas atetap menyakini bahwa data yang dirilis oleh BPS adalah yang paling valid untuk dijadikan acuan.
"Data ya harus satu, BPS. Saya hari ini tetap pegang data BPS. Saya tidak pakai data saya, karena data BPS imbangannya itu data BI," kata dia di acara Ngopi BUMN di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat, 1 November 2019.
Budi Waseso mengatakan, ketika mengambil keputusan untuk impor bahan pangan, dirinya harus melihat data pangan yang dirilis BPS. Jadi, ketika jajarannya mengusulkan untuk membeli bahan pangan asal luar negeri, dirinya harus membandingkannya dengan memantau data BPS.
"Jadi kalau disuruh impor, mana datanya di BPS kan enggak ada. Kalau data BPS lebih kan enggak perlu impor. Kalau data BPS stoknya minim karena cuaca tidak bagus, ya saya ikuti, harus impor," tutur Budi Waseso.
Budi Waseso mengaku, dirinya tidak anti impor. Sebab, memang ada beberapa bahan pangan yang produksinya belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. Namun, ketika ada suatu komoditas yang bisa dimaksimalkan di Indonesia, keputusan impor sebisa mungkin diminimalisir. "Karena kita produksi dan kita maksimalkan. Kecuali kurang ya kita impor, impor sesuai dengan kebutuhan kita," tambahnya.
Sebelumnya, polemik datang angan ini menjadi fokus kerja Menteri Pertanian yang baru yakni Syahrul Yasin Limpo. Dia menegaskan, akan menyelesaikan kesimpangsiuran data tersebut dalam 100 hari masa bakti pertamanya.
"Dalam 100 hari ini masalah data selesai. Pak Sekjen, saya mau lihat selesai, mana dirjen, mana direktur, harus selesai. Bantu saya Pak Amran, Ketua Komisi dan lain-lain. Tidak boleh lama-lama," kata Syahrul saat serah terima jabatan di Kementerian Pertanian, 25 Oktober 2019.