TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Muhammad Khayam menyebut pembiayaan industri sebagai biang pemicu deindustrialisasi di Tanah Air. Ia menyebut bunga pinjaman di dalam negeri yang cenderung tinggi bila dibandingkan di negara lain membuat industri nasional sulit bersaing.
"Maksudnya, misalnya kita mau bangun pabrik, bunganya itu 8 persen. Di negara lain padahal bisa 2 persen. Akibatnya, industri kita tidak berdaya saing," ujar Khayam di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu, 30 Oktober 2019.
Karena itu, ia menilai pemerintah perlu mencarikan pembiayaan industri. Hal tersebut juga adalah nilai turunan dari Undang-undang Perindustrian.
Dulu, Khayam mengenang, pembiayaan industri dilayani khusus oleh Bank Pembangunan Indonesia. Namun, semenjak bank tersebut dimerger menjadi Bank Mandiri pada Juli 1999, tak ada lagi perusahaan perbankan yang khusus membiayai industri. "Sekarang bank komersial biasa, meski bank pemerintah, dia kan orientasinya kepada retail, " kata Khayam.
Ia menyatakan tak menyalahkan kondisi tersebut. Hanya saja, menurutnya, perlu ada bank khusus industri untuk mendukung perkembangan tersebut.
Menurut Khayam, bisa saja pembiayaan industri dilakukan menggunakan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, maupun lembaga pembiayaan lainnya. Namun, ia mengingatkan kembali soal bunga. Dengan demikian ia meyakini industri di dalam negeri dapat meningkatkan daya saingnya.
Persoalan deindustrialisasi sebelumnya sempat dibahas oleh beberapa ekonom Tanah Air, salah satunya Didik Rachbini. Ekonom yang juga Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi, Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau LP3E KADIN itu menyebutkan saat ini, sektor industri hanya tumbuh sekitar 3 persen dan tak mampu mendongkrak ekonomi agar tumbuh lebih tinggi.