TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perdagangan telah selesai merumuskan aturan bea masuk tindakan pengamanan (safeguards) untuk menahan lonjakan impor produk tekstil. Bola penyelamatan industri tekstil kini berada di tangan Kementerian Keuangan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menyatakan usulan safeguards meliputi besaran hingga status penerapan sudah diteken Menteri Perdagangan. "Sudah diusulkan Kementerian Perdagangan, tinggal nanti dari Kementerian Keuangan," kata dia di Jakarta, Rabu 30 Oktober 2019.
Dia enggan menjabarkan detil aturan safeguards yang diusulkan tersebut. Juru Bicara Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menyatakan pihaknya masih menggodok aturan ini. "Masih dalam tahap harmonisasi," ujarnya.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menuturkan, aturan safeguards rencananya akan diterapkan sementara selama 200 hari sejak diterbitkan. Selama periode itu pemerintah akan mengkaji dampak kebijakan tersebut. "Jika dinilai perlu lanjut, berarti akan diteruskan. Bisa tiga tahun, bisa lima tahun maksimum," ujarnya.
Penyusunan safeguards berawal dari laporan pelaku industri mengenai banyaknya kain impor yang masuk ke Indonesia yang membuat industri dalam negeri tak bisa bersaing. Setidaknya sembilan perusahaan tekstil terpaksa tutup selama periode 2018-2019. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat kemudian mengusulkan agar pemerintah menerapkan safeguard. “Kami sudah melihat adanya faktor kerugian, rusaknya pasar, dan turunnya pertumbuhan industri," katanya.
Usul itu diteruskan kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Lembaga tersebut menyelidiki klaim pengusaha dan menemukan 123 daftar golongan barang impor dari Cina yang mengalami tren lonjakan impor lebih dari 10 persen selama tiga tahun terakhir. Ketua KPPI Mardjoko merekomendasikan sejumlah produk dikenakan safeguards kepada BP3 Kementerian Perdagangan. Beberapa produk yang akan dikenakan safeguard di antaranya, enam nomor harmonized system (HS) produk impor benang dari serat stapel sintetik dan artifisial, 107 nomor HS impor kain, dan delapan nomor HS terhadap impor tirai.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Suharno Rusdi menyatakan industri dalam negeri sulit bersaing dengan produk impor salah satunya karena harga. Barang impor, terutama dari Cina, lebih murah 60 persen. "Margin pedagang dari konsumen akhir bisa 20 persen," katanya.