TEMPO.CO, Jakarta - Industri garmen dan tekstil di Indonesia berpeluang tumbuh pesat dalam lima tahun ke depan bila dapat optimal memanfaatkan situasi perang dagang Amerika Serikat-Cina. Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia atau Kadin Rosan Roeslani mengatakan dalam lima tahun mendatang, ekspor kedua produk itu berpotensi tumbuh hingga empat kali lipat.
Kondisi ini terjadi lantaran Indonesia berangsur mulai menggantikan posisi Cina sebagai pemasok produk garmen dan tekstil untuk Amerika Serikat setelah perang dagang pecah. Hal itu, kata Rosan, tercermin dari meningkatnya nilai ekspor kedua produk ke Negeri Abang Sam.
Baca Juga:
"Saya bicara dengan asosiasi garmen, tekstil, tahun ini kita menikmati ekspor kita naik 25-30 persen untuk ke Amerika Serikat. Kita makin kompetitif," ujar Rosan dalam diskusi bertajuk 'Economic Outlook' di Balai Kartini, Jakarta, Selasa, 29 Oktober 2019.
Rosan mengatakan, pada 2018, ekspor produk garmen dan tekstil Indonesia secara keseluruhan tercatat mencapai US$ 10 miliar. Sedangkan pada 2019, ekspor garmen naik US$ 3 miliar menjadi US$ 13 miliar.
Kendati begitu, Indonesia masih kalah dengan Vietnam yang saat ini ekspor tekstil dan garmennya sudah mencapai US$ 35 miliar atau naik tiga kali lipat dalam setahun. Vietnam lebih dulu memanfaatkan situasi perang dagang dengan menarik Cina merelokasi pabriknya di sana.
Cina merelokasi pabriknya ke sejumlah negara, termasuk Vietnam, lantaran AS memukulnya dengan biaya masuk. AS beberapa waktu lalu mematok biaya masuk barang dagang dari Cina naik sebesar 25 persen. Di tengah eskalasi perang dagang, Cina lalu mencabut 33 perusahaannya dari AS sebagai aksi balasan.
Cina pun mengalihkan pabriknya ke beberapa negara seperti Vietnam hingga industri mereka moncer. Namun begitu, dari 33 perusahaan yang direlokasi, tak satu pun masuk ke Indonesia.
Rosan mengatakan investasi masuk ke dalam negeri dinilai sulit karena terhambat sejumlah hal, seperti keruwetan birokrasi. "Kenapa investasi enggak masuk Indonesia, itu karena birokrasi berkepanjangan," ujarnya.