TEMPO.CO, Jakarta - Empat kali pemangkasan suku bunga di tahun ini yang dilakukan Bank Indonesia dinilai tidak berbahaya bagi likuiditas selama kebijakan ekonomi fiskal bisa ikut merelaksasi kebijakan ekspor. Relaksasi kebijakan ekspor penting untuk menjaga neraca perdagangan.
Rektor dan juga Ekonom Unika Atma Jaya A. Prasetyantoko menuturkan relaksasi yang dilakukan Bank Indonesia adalah upaya untuk menjaga pertumbuhan di atas 5 persen pada 2020. Apalagi, dengan peluang adanya perlambatan ekonomi dunia, diawali dengan menurunnya permintaan dan volume ekspor-impor, maka instrumen moneter perlu menyesuaikan diri.
“Tahun depan kalau ancaman dimana pertumbuhan ekonomi ini semakin dalam dan gejolak meningkat, kita harus mainkan instrumen jangka pendek jika terjadi tekanan, atau di action rate suku bunga bisa dinaikkan lagi,” ujar Prasetyantoko di Gedung Yustinus Unika Atma Jaya, Senin 28 Oktober 2019.
Pengajar di Graduate School of Business Magister Manajemen Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya ini mengatakan, hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada potensi resesi tahun depan adalah krisis finansial, aliran modal keluar (capital outflow), dan depresiasi nilai tukar.
Beberapa dampak yang perlu diperhitungkan sedini mungkin oleh pengambil kebijakan adalah penurunan harga komoditas yang bisa memberi pukulan pada pelemahan ekspor lebih lanjut dan penurunan penerimaan.
“Maka selain kebijakan moneter, kebijakan fiskal (relaksasi) diperlukan, relaksasi ekspor, itu juga arah yang bisa dilakukan,” tuturnya.
Dampak lainnya adalah berkurangnya investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) maupun investasi portofolio. Bisnis.com mencatat, aliran modal asing portofolio secara year to date, Januari sampai 24 Oktober 2019 tercatat Rp210 triliun. Secara rinci, aliran modal asing tersebut meliputi Rp157,6 triliun untuk Surat Berharga Negara (SBN), dan saham Rp50,3 triliun.
Jika secara week-to-date, sampai 24 Oktober 2019 aliran modal masul tercatat Rp12,03 triliun. Adapun porsi Surat Berharga Negara (SBN), dan Rp12,19 triliun, tetapi saham tercatat aliran dana keluar sebesar Rp230 miliar atau Rp0,23 triliun.
“Ini adalah risiko yang mesti diantisipasi dan apa kebijakan yang struktural untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas,” kata Prasetyantoko.