TEMPO.CO, Bandung - Chairman Korea Garment Association, Ahn Chang Sub mengatakan, pengusaha produk tekstil Korea Selatan di Jawa Barat menginginkan upah khusus. “Kita perlu upah khusus produk tekstil,” kata dia selepas mengikuti CEO & Ambassador Meeting yang digelar pemerintah Jawa Barat, di Bandung, Kamis, 24 Oktober 2019.
Ahn mengatakan, pengusaha produk tekstil asal Korea Selatan yang ada di Indonesia sebagian besar berada di Jawa Barat. Industri garmen milik pengusaha Korea misalnya, 60 persen berada di Jawa Barat. Menurut dia, trennya sekarang tidak bisa berlanjut atau banyak yang tutup. Beberapa yang tutup ada di Purwakarta, Bogor, dan Subang. Bahkan, kata dia, di Karawang-Bekasi sudah hampir kosong.
Menurut Ahn, upah yang tinggi menjadi penyebabnya. “Di Indonesia, (upah) terlalu tinggi daripada provinsi yang lain. Dengan Jawa Tengah lebih (besar) dua kali. Bagaimana bisa hidup padat karya di Jawa Barat,” kata dia.
Tak hanya itu, kenaikan upah tidak berbanding dengan produktivitas. Ahn membandingkan, dengan Vietnam dan Myanmar, lokasi favorit yang menjadi tujuan hijrahnya industri produk tekstil. Di Vietnam misalnya, jam kerja 45 jam seminggu sementara di Indonesia hanya 40 jam seminggu. Dalam 7 tahun, kata dia, upah naik hampir 3,5 kali, tapi produktivitas tidak naik.
Lima tahun terakhir, klaimnya, sudah 45 perusahaan produk tekstil milik pengusaha Korea tutup di Jawa Barat. Menurut dia, saat ini masih ada sekitar 160 perusahaan Korea. Lokasinya di Sukabumi, Bekasi, Bogor, Subang, Purwakarta.
Puluhan perusahaan yang tutup itu, sebagian pindah ke provinsi hingga negara lain. Tapi, Ahn mengaku, relokasi bukan solusi. “Kalau cari gaji murah, kita bisa pindah. Gampang. Tapi itu bukan solusi. Kalau pindah, tidak ada skill-worker. Dan buruh di Jawa Barat, skill-nya paling bagus. Dan mereka tidak mau ikut pindah,” kata Ahn.
“Kalau mau pindah, lebih baik di dalam Indonesia. Semua tahu, orang Indonesia lebih baik orang-orangnya daripada luar negeri, yang ke sana juga tahu. Kita sudah ada pengalaman. Untuk apa keluar negeri,” kata Ahn.
Ahn mengatakan, memindahkan pabrik ke daerah lain di Jawa Barat, juga tidak menjamin perusahaan bisa bertahan. Sebab, tidak mudah memindahkan karyawan yang jumlahnya ribuan.
Ahn mengatakan, industri produk tekstil bergantung pada pembelinya di luar negeri. “Masalahnya pembeli di luar negeri mau beli kualitas bagus yang murah,” kata dia.
Ahn mengatakan, soal upah sendiri, sebagian besar industri produk tekstil Korea di Jawa Barat diklaimnya sudah melobi buruhnya agar kenaikan upah disepakati naiknya tidak sebesar ketentuan upah yang dipatok pemerintah. Hanya saja, kesepakatan upah seperti ini mengancam kelangsungan penjualan produknya karena pembeli produk tekstil bisa membatalkan kontrak pembelian dengan alasan pabrikan tidak memenuhi persyaratan buyer-compliance, salah satunya soal upah buruh yang harus mengikuti upah minimum yang dipatok pemerintah.
Ahn mencontohkan, satu pabrik produk tekstil yang sudah puluhan tahun menggarap merek terkenal, akhirnya tutup gara-gara membayar upah buruh di bawah upah minimum. “Masalahnya buyer-compliance. Tidak ikut undang-undang, aturan, tidak boleh adopsi merek saya. Baru kemarin (di) Bekasi, 31 tahun produksi merek yang bagus di dunia, tutup,” kata dia.
Dengan alasan itu, Ahn meminta pemerintah Jawa Barat agar membuka peluang upah khusus bagi sektor padat karya. “Sekarang Bogor, Subang, Purwakarta, banyak karyawannya yang mau pakai kesepakatan, tidak usah undang-undang, tidak usah SK Gubernur, tapi masalahnya buyer compliance,” kata dia.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, regulasi soal upah menjadi kewenangan pemerintah pusat. “Saya mau ketemu juga khusus dengan pengusaha Korea. Mereka dilema, pilih ke provinsi lain tidak sebagus produktivitas Jawa Barat walaupun upahnya murah. Jadi serba salah. Dan pilihan sulit kalau pindah ke luar negeri. Itu akan kita selesaikan. Sebagai pemerintah daerah, kita dalam konteks ini ikut pada regulasi yang sudah ditetapkan pemerintah pusat sambil mencari cara yang adil agar keluhan-keluhan baik buruh dan pengusaha ini bisa ada solusinya,” kata dia, Kamis, 25 Oktober 2019.
Ridwan Kamil mengatakan, solusi yang akan ditawarkan dengan membangun kluster khusus industri padat karya. “Bikin kluster. Kluster kapital insentif yang mahal-mahal, teknologi itu. Karawang gak cocok untuk tekstil kira-kira begitu. Nanti yang upahnya di zona paling bawah kita geser ke padat karya,” kata dia.
Solusi itu akan dibarengi dengan membangun fasilitas pendukungnya. “Salah satu gagasannya kita mau bikin apartemen di sebelah pabrik. Jadi orang bisa tinggal berdekatan tanpa harus nyari-nyar tempat bermukim, beradaptasi lagi. Ini sedang kita proses konsep live-work itu dalam waktu berdekatan,” kata Gubernur Jawa Barat tersebut.
AHMAD FIKRI