TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia merilis laporan terbarunya tentang reformasi peningkatan iklim bisnis dalam setahun terakhir melalui Doing Business 2020. Studi tersebut menunjukkan bahwa laju reformasi keseluruhan di negara-negara kawasan Pasifik dan Asia Timur melambat.
Dalam laporannya, Bank Dunia menunjukkan 12 dari 25 negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik hanya melakukan total 33 reformasi untuk peningkatan iklim usaha dalam setahun terakhir. Jumlah reformasi di kawasan ini turun sebanyak sepuluh selama periode 12 bulan hingga 1 Mei 2019.
“Penurunan juga ditunjukkan dengan negara yang melakukan reformasi. Reformasi hanya dilaksanakan di kurang dari setengah negara di kawasan tersebut,” ujar ekonom senior Bank Dunia, Arvind Jain, melalui sambungan telekonferensi di kantor Bank Dunia Jakarta, Jumat, 25 Oktober 2019.
Kendati begitu, lima negara di kawasan Pasifik dan Asia Timur tercatat melalukan reformasi paling moncer di ranah global. Singapura, misalnya, berhasil menempati peringkat kedua atau tertinggi secara global dalam melakukan reformasi terhadap iklim usaha.
Sedangkan Hong Kong dan Cina menempati posisi ketiga. Lalu, Malaysia menduduki peringkat ke-12, Taiwan ke-15, dan Thailand ke-21. Cina tercatat telah melakukan perbaikan reformasi selama dua tahun berturut-turut, meski dihantam perang dagang dengan mitranya, Amerika Serikat.
Cina melakukan reformasi dengan menyederhanakan sejumlah regulasi di Beijing. Misalnya menyederhanakan persyaratan untuk konstruksi berisiko rendah. Cina juga mengefektifkan waktu tunggu surat-menyurat serta pengurusan izin menjadi rata-rata 44 hari.
Selain itu, Cina membantu perusahaan kecil dan menengah dengan meningkatkan infrastruktur pelabuhan, mengoptimalkan administrasi, bea cukai, dan mempublikasikan jadwal serta biaya perizinan.
Adapun Indonesia juga tercatat melakukan reformasi bisnis, meski peringkatnya tak meningkat. Arvind mengatakan peringkat reformasi Indonesia masih stagnan berada di posisi ke-73 dari 190 negara yang melakukan reformasi iklim bisnis.
Indonesia dalam setahun terakhir melakukan lima reformasi. “Peringkat Indonesia stagnan, tapi tergolong negara yang paling banyak melakukan reformasi bisnis di Asia Timur setelah Cina,” kata Arvind.
Indonesia di antaranya melakukan peningkatan penggunaan teknologi dengan sistem pelaporan dan pembayaran berbasis daring, khususnya untuk pajak. Selanjutnya, Indonesia berupaya meningkatkan proses pengurusan dokumen pabean untuk ekspor secara online dengan mengurangi waktu kepatuhan perbatasan untuk ekspor dengan mengurangi waktu tunggu perizinan hingga menjadi 7 jam.
Arvind mengatakan, dalam menjalankan bisnis, reformasi penting dilakukan untuk mendorong lompatan-lompatan besar. “Reformasi bisnis dianggap sebagai lari maraton, bukan lari cepat. Ini penting bagi perusahaan untuk secara konsisten mengambil langkah reformasi untuk melakukan lompatan besar dalam satu tahun,” tuturnya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA