“Pada Desember 2018, tercatat 24 importir yang sudah memperoleh SPI dan merealisasikan volume impor mendekati kuota yang diprediksi bisa memenuhi pasokan Januari-April 2019. Pada Januari-Maret 2019, tidak ada penerbitan RIPH dan SPI walah terdapat pengajuan dari importer selama periode tersebut. Pada bulan-bulan itu terjadi peningkatan harga padahal di negara asalnya, justru terjadi penurunan harga,” Taufik memaparkan.
Adapun margin bruto, belum termasuk biaya penyusutan, distribusi dan tenaga kerja dari perdagangan bawang putih di Indonesia dalam periode Januari 2018 hingga Mei 2019 berkisar antara Rp352,21 juta hingga Rp2,4 triliun dengan rerata margin sebesar Rp 672,5 juta.
Secara akumulatif, margin bruto Januari-Desember 2018 sebesar Rp8,6 triliun dengan total realisasi sebesar 577.501 ton. Sementara itu, margin pada April-Mei 2019 sebesar Rp2,2 miliar dengan volume impor 56,2 juta.
KPPU, lanjutnya, juga menemukan fakta bahwa selama tiga tahun sejak 2015-2018, terjadi penurunan impor pada periode Januari-Maret. Hal ini dapat diperinci pada 2015, jumlah impor mencapai 77,6 juta ton. Setahun berikutnya turun menjadi 77,2 juta, lalu pada 2017 jumlah impor sebesar 60,9 juta dan pada 2018 anjlok menjadi 3,9 juta ton.
Dari berbagai fakta tersebut, KPPU kata Taufik, menganalisis bahwa tingginya harga bawang putih pada Maret-Mei 2019 disebabkan oleh minimnya pasokan di pasar. Salah satu alasannya, adanya kewajiban tanam sebesar 5 persen dari jumlah kuota impor yang dibebankan kepada importir yang menyebabkan terhambatnya penerbitan RIPH. Pasalnya, proses klarifikasi terjadi sepanjang awal tahun (Januari-Maret).
Keterlambatan, juga terjadi di Kementerian Perdagangan lantaran SPI baru terbit pada April 2019. Kondisi ini menyebabkan importir yang sudah memiliki SPI per Oktober 2018 dan sudah merealisasikan impor bawang putih berdasarkan kuota yang dimiliki, dapat menguasai pasokan pasar domestik.
BISNIS