"Selain itu, kasus-kasus yang meletus pada 2018 kecenderungannya semakin buruk karena selain tidak diselesaikan, juga digunakannya kekerasan berupa penghancuran tanaman masyarakat, perobohan rumah, intimidasi secara psikis dan fisik, dan kriminalisasi,” tuturnya.
Dalam 5 tahun terakhir, Rakhma menilai pemerintah khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM tidak kunjung menemukan solusi atas persoalan yang dihadapi. Bahkan, Rakhma memandang pemerintah enggan mengakui kesalahan memberikan izin-izin bermasalah. Kementerian juga mengabaikan protes masyarakat sehingga masalah agraria langgeng dan mangkrak.
Rakhma mengatakan saat ini pemerintah pun belum memiliki mekanisme yang tepat untuk menyelesaikan konflik agraria berdasarkan hak-hak masyarakat yang menjadi korban. Pemerintah juga mau mencabut atau membatalkan izin-izin konsesi bermasalah yang sudah diberikan kepada pengusaha.
Karena itu, pada masa pemerintahan ke depan, YLBHI memberikan lima rekomendasi untuk Jokowi. Pertama, membatalkan RUU Pertanahan dan membuat rencana penyusunan kembali aturan dengan melibatkan masyarakat sipil, petani, masyarakat adat, perempuan, dan akademikus. Kedua, membatalkan RUU Sistem Budidaya Lahan Pertanian Berkelanjutan yang diduga merampas hak-hak petani untuk berinovasi.
Ketiga, YLBHI meminta pemerintah menghentikan kriminalisasi para petani, masyarakat adat, dan para aktivis agraria. “Kami juga meminta pemerintah mengeluarkan mereka yang saat ini sedang dipenjara karena memperjuangkan hak-haknya atas tanah,” tuturnya.
Keempat, YLBHI meminta pemerintah meninjau ulang pelibatan militer dan kepolisian dalam konflik agraria serta segera mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikannya. Kelima, Rakhma mengatakan pemerintah mesti segera memikirkan cara mengembalikan lahan-lahan masyarakat adat yang diambil oleh perusahaan swasta maupun pemerintah.