Alternatif ketiga yang diterapkan di negara lain adalah melalui pembayaran iuran untuk 12 bulan di muka setelah mendapatkan layanan persalinan. “Selain untuk memenuhi kewajiban membayar iuran, ini dimaksudkan untuk memastikan terjaminnya pelayanan kesehatan ibu dan bayinya selama satu tahun ke depan, yang merupakan periode waktu ibu dan bayi membutuhkan pemeriksaan rutin,” ujar Iqbal.
Lebih jauh Iqbal menjelaskan, tren persalinan di fasilitas kesehatan terus naik. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), tren persalinan pada 2007 sebesar 46 persen meningkat menjadi 74 persen pada 2017.
Kondisi tersebut menjadi beban karena biaya persalinan terus meningkat. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, biaya persalinan per tahun pada 2014 sebesar Rp 2,41 triliun meningkat menjadi Rp 4,43 triliun pada 2017.
Menanggapi hal itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan bahwa perilaku adverse section tersebut muncul karena adanya celah dari Perpres 82 Tahun 2018. Regulasi tersebut menurutnya membuka peluang bagi peserta yang menunggak iuran untuk tetap terdaftar sebagai peserta aktif.
Secara umum Timboel menilai usulan BPJS Kesehatan menjatuhkan sanksi bagi peserta yang menunggak merupakan upaya untuk menjaga tingkat kepatuhan peserta dalam membayar iuran. “BPJS Kesehatan juga harus mengabdi pada tujuan bangsa untuk menurunkan tingkat kematian ibu dan anak,” ujarnya.
Namun begitu, Timboel mengaku ragu dengan data BPJS Kesehatan mengenai tingkat kepatuhan iuran peserta PBPU yang hendak bersalin. Hal tersebut karena peserta akan melakukan kontrol terlebih dahulu di masa kehamilan, sehingga keaktifan peserta diperlukan saat itu.
“Saya agak meragukan juga data itu karena biasanya ibu-ibu sudah aktif bayar, karena harus mengecek kondisi kandungan, itu kan menggunakan BPJS Kesehatan. Kalau berutang kan tidak bisa check up,” ujar Timboel.