TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Berly Martawardaya menilai Presiden Jokowi dengan Kabinet Jilid II-nya harus segera melakukan sejumlah pembenahan, khususnya untuk mendorong investasi minyak dan gas bumi di dalam negeri.
Pasalnya, menurut Berly, laju investasi untuk sektor minyak dan gas atau migas di Indonesia terus-menerus melorot sejak 2013. Sedikitnya ada tiga hal yang harus diperbaiki oleh pemerintahan Jokowi.
Pertama, pendataan migas. Selama ini, kata Berly, investor tidak berminat menanamkan modal karena pemerintah tidak memiliki data yang padu terkait cadangan migas.
“Data masih menjadi masalah. Mereka (investor) tidak tahu mau investasi ke mana. Nah, kita harus punya data yang pasti. Masalah pendataan migas ini perlu diperbaiki,” ujar Berly di The Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Senin, 21 Oktober 2019.
Selain data, ada masalah kedua yakni kepastian kebijakan juga menjadi persoalan. Ia mengatakan selama ini investor cenderung menunjukkan sikap wait and see karena pelbagai peraturan di level kementerian yang menaungi sektor migas, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, acap kali berubah.
Ketidakpastian kebijakan ini tercermin dari intensitas pergantian menteri di Kementerian ESDM. Selama lima tahun menjabat di periode pertamanya saja, Jokowi tercatat mengganti empat kali Menteri ESDM. Di antaranya Sudirman Said, Arcandra Tahar, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Ignasius Jonan.
Global Petroleum Survey 2018 mencatat Indonesia berada di peringkat kedelapan dalam sumber indeks persepsi kebijakan migas. Indonesia tercatat kalah dengan Mesir, Algeria, bahkan Nigeria. Sedangkan peringkat satu ditempati oleh Texas dan posisi kedua diduduki oleh Rusia.
Investasi lesu ini yang membuat produksi migas turut suram. Berly mengatakan saat ini lifting migas di Indonesia menurun sebesar 30 persen.
Produksi migas terakhir tercatat 700 ribu barel per hari. Sedangkan konsumsi migas dua kali lebih banyak ketimbang produksinya, yakni mencapai 1,5 juta barel per hari. Sementara itu, produksi migas diperkirakan sulit meningkat hingga 2025 hingga 2027.
Untuk mendorong percepatan produksi migas, Berly menyebutkan pemerintah harus melakukan hal ketiga. Hal ketiga itu adalah mendorong kebijakan dengan mempertimbangkan suplai dan kebutuhannya.
Salah satunya menuntaskan revisi Undang-undang
Migas. “Pemerintah juga perlu melakukan holding tambang agar target masuk Fortune 500 dalam 5 tahun ke depan tercapai,” ujarnya.