Tempo.Co, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Daerah Jimly Asshiddiqie menilai pidato yang dibacakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi selepas pelantikan kemarin sangat sesuai dengan gaya sang presiden. Hanya saja, dia memberi sedikit catatan atas pidato tersebut.
"Pidato kemarin sudah Jokowi banget, tapi ada kelebihan, menterinya belum diangkat sudah mau diancam dipecat," ujar Jimly di Kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, Senin, 20 Oktober 2019.
Jokowi dilantik sebagai Presiden periode 2019-2024 bersama wakil presiden Ma'ruf Amin pada Ahad, 20 Oktober 2019. Dalam pidato pertamanya, Jokowi meminta kepada para menteri, para pejabat dan birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan. "Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, akan saya copot," kata Jokowi, kemarin.
Di samping soal ancaman itu, Jimly mengatakan dari pidato tersebut banyak sekali hal yang harus dikerjakan dalam lima tahun ke depan. Salah satunya adalah mengenai omnibus law yang disinggung Jokowi dalam pidatonya kemarin.
Ia mengatakan model beleid tersebut sangat cocok dan relevan lantaran adanya kebutuhan untuk melakukan mengharmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Alasannya, banyak aturan-aturan tua yang masih berlaku secara de jure, tapi dalam praktik tidak berlaku lagi.
"Bahkan ada juga yang sudah tidak berlaku lagi tapi banyak orang yang tidak menyadari bahwa dia tidak berlaku lagi," kata Jimly. "Karena itu kita perlu membantu membangn suatu sistem yang bisa menata ulang sistem perundang-undangan di Indonesia."
Dengan demikian, Jimly menilai apa yang dipidatokan Jokowi itu sangat tepat waktunya dan sesuai dengan kebutuhan. Oleh sebab itu, ia meminta jajaran birokrasi, khususnya Bappenas untuk mempersiapkan diri. "Karena Ini tercermin baik di pidato Presiden tanggal 16 Agustus yang lalu, di depan DPR, DPD, dan MPR. Maupun kemarin dan diulangnya lagi dengan lebih detil, lebih jelas," tutur Jimly.
Selain Omnibus Law, Jimly sepakat bahwa dalam lima tahun ke depan pemerintah harus melakukan reformasi institusional. "Birokrasinya jangan kegemukan seperti sekarang dan itu perlu sekali keputusan-keputusan yang mungkin tidak populer dan berpengaruh kepada ASN, jadi para PNS di seluruh Indonesia harus siap," tuturnya.
Namun, ia menilai rencana Presiden Jokowi memangkas lapisan eselon di pemerintahan terlalu ekstrim. Sebab, jumlah lapisan eselon yang awalnya empat itu hendak dirampingkan menjadi hanya dua. "Soal eselon dia (Jokowi) mau dari empat eselon menjadi dua saja, saya bilang terlalu ekstrim," ujar Jimly.
Ia menyarankan pemangkasan itu tidak dilakukan terlalu ekstrim, dengan misalnya menjadi tiga lapis eselon saja. Sebab, ia melihat akan ada kegegeran apabila keinginan Jokowi itu diterapkan secara nasional.
"Jadi tiga saja, tapi tiga bukan hanya jumlah. Mekanisme pengambilan keputusan itu harus di eselon II, bukan eselon I. Eselon I fungsinya hanya staf pendukung pimpinan," tutur Jimly. Ke depannya, Jimly mengatakan arahan harus datang dari level direktur, bukan direktur jenderal. Sehingga, semua keputusan harus selesai paling tinggi pada tingkat direktur.