TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi jilid I hampir usai. Selain capaian prestasi yang diraih, terdapat serentetan catatan yang perlu diperbaiki pada pemerintahan jilid II. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara salah satunya, menilai dari sisi perbankan.
Menurut dia, bank dalam lima tahun terakhir menghadapi tekanan yang cukup berat. "Pertumbuhan kredit di tahun 2014 mencapai 11,5 persen terus merosot ke angka 9,7 persen per Juli 2019," kata Bhima saat dihubungi, Jumat, 18 Oktober 2019.
Dia melihat penurunan terjadi karena tingkat resiko yang meningkat di beberapa sektor misalnya pertambangan, perkebunan dan industri manufaktur, serta kredit konsumsi. Bank mulai mengambil posisi hati-hati dan selektif memilih calon debitur.
"Lambatnya respon kebijakan pemerintah misalnya dalam implementasi paket kebijakan membuat kondisi menjadi memburuk," ujar dia.
Dia menilai bank menghadapi pengetatan likuiditas secara terus menerus. Loan to Deposits Ratio atau LDR bank umum per Oktober 2014 saat itu 88,45 persen, kemudian naik hingga 94,4 persen per Juli 2019.
Perebutan dana di perbankan, kata dia, cukup sengit salah satunya karena efek tax amnesty tahun 2016-2017 yang menyedot likuiditas perbankan khususnya bank-bank kecil.
Menurut Bhima, kondisi diperparah dengan agresivitas pemerintah dalam menerbitkan utang berdenominasi rupiah sehingga terjadi crowding out effect atau beralihnya dana deposan ke kas pemerintah.
"Maklum bunga utang pemerintah di atas 7 persen sementara suku bunga deposito di kisaran 5-6 persen dengan tenor yang sama. Jadi ada kontribusi pemerintah dalam menghambat kinerja bank," kata dia.
Dia juga melihat selama 5 tahun jumlah bank juga tidak alami penyusutan jumlah. Konsolidasi bisa dikatakan lambat. Masih ada 114 bank yang terlalu banyak, sehingga transmisi penurunan bunga acuan juga relatif berjalan lambat
"Struktur persaingan bank yang tidak sehat akhirnya merugikan ekonomi sendiri," kata dia.