TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution akan mengakhiri jabatannya pada Sabtu, 19 Oktober 2019. Dia menceritakan, selama lima tahun menjabat sebagai menteri, ada hal tersulit yang ia kendalikan semasa ia memimpin, yakni soal komoditas pangan dan pertanian.
"Pertama, beras. Kedua, gula. Ketiga, jagung. Karena apa kita punya kebijakan yang sama. Pokoknya kita impor kerbau banyak-banyak supaya harganya rendah," kata Darmin saat acara Ngobrol Pintar Tentang Ekonomi di kantornya, Jakarta Pusat, 19 Oktober 2019.
Dia mengatakan bahwa walaupun kebijakan impor daging sapi dilakukan beberapa kali namun tidak berhasil menurunkan harga komoditas pangan tersebut hingga di bawah Rp 110 ribu. Darmin mengungkapkan, penyebabnya adalah karena jenis daging sapi itu bermacam-macam hingga 70 macam harganya, namun yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik hanya tertulis daging sapi.
"Paha kiri dan paha kanan lain. Apalagi punggung lain sama sekali kadang-kadang muncul bawang putih dan telor. Intinya pertanian," ujar dia.
Darmin menuturkan terkadang tidak sepakat soal data pangan, karena kesimpulan dan di lapangannya terjadi perbedaan. Namun, dia menambahkan, sudah satu suara terkait data beras di Indonesia. "Walaupun, jangan menganggapnya selesai, data yang kemudian dikeluarkan Menteri Amran dan BIG (Badan Informasi Geospasial), itu sekarang kalau di-challenge dan ditunjukkan gambarnya tidak sama. Jadi akan ada diskusi lagi kelihatannya, walaupun tidak mengubah banyak."
Kemudian persoalan tentang luasan sawah di Indonesia, Darmin berujar bahwa selalu terjadi perbedaan luas lahan yang membuat ini sulit dicari jalan keluarnya. Ia mengatakan alasan ini terkait dari pemberian subsidi pupuk bagi para petani yang tidak bisa dikurangi.
"Nanti subsidinya bisa dipotong, yang di luar gimana ceritanya. Tidak hanya persoalan rasional. Ini persoalan ketakutan macam-macam," ungkap dia.
Darmin juga menceritakan, harus pasang badan ketika mengambil keputusan untuk impor suatu komoditas pangan. Ia rela dihujat oleh publik terkait keputusannya tersebut. "Begitu kesimpulannya kurang impor, dicaci maki seluruh republik, itu resikonya," tambah dia.