"Selama kurun waktu 2014-2018, belanja untuk pembayaran bunga utang lah yang tumbuh paling tinggi sebesar 94 persen, lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9 persen," kata dia.
Menurut Faisal, peningkatan utang pemerintah sejatinya bisa dikurangi jika tax ratio terhadap PDB bisa tingkatkan. Sayangnya, sejauh ini nisbah pajak atau tax ratio cenderung melambat. Baru pada 2018 angkanya sedikit naik menjadi 10,2 persen setelah sejak 2012 selalu turun.
Senada dengan Faisal, Ekonom Center of Reform on Economics atau Core Yusuf Rendy melihat proporsi belanja bunga utang pada anggaran belanja negara semakin besar dari tahun ke tahun. Beban bunga ini, kata dia, ruang belanja APBN untuk sektor produktif seperti belanja modal.
Kamis 17 Oktober lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui beban utang negara mencapai Rp 4.600 triliun. Meski begitu, ia optimistis Indonesia dapat membayar utang-utangnya di masa mendatang.
“Banyak (utang) asal bisa bayar. Apalagi utang kita masih aman dari negara lain,” ujar JK dalam diskusi bersama 100 ekonom di The Westin, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Oktober 2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan terus mengelola utang negara secara efisien, hati-hati, transparan dan akuntabel.
Dia mengatakan pembiayaan utang pada 2020 akan Rp 351,9 triliun. Angka itu lebih rendah dari 2018 yang sebesar Rp 372 triliun, namun lebih rendah dari perkiraan realisasi atau outlook 2019 yang sebesar Rp 373,9 triliun.
Menurutnya, pengendalian rasio utang dalam batas aman berkisar 29,4 hingga 30,1 persen PDB untuk mendukung kesinambungan fiskal. Sedangkan untuk menjaga keseimbangan makro dengan menjaga komposisi utang domestik dan valas dalam batas terkendali, serta pendalaman pasar keuangan.
Pada 2018, rasio utang per kapita Pemerintah Indonesia adalah sebesar US$ 1.147 dengan rasio utang per PDB sebesar 30 persen. Angka itu, menurut Kementerian Keuangan, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand yang US$ 2.928 per kapita dengan rasio utang 42 persen per PDB.