Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah menuturkan UU JPH tidak bisa begitu saja diterapkan tanpa ada PMA. Menurut dia, kedudukan PMA sangat penting sebagai landasan hukum untuk menjalankan suatu perundangan. Nota kesepahaman, kata dia, tidak dapat disandarkan pada ketentuan yang belum ada. “Belum diundangkannya Permenag menunjukkan kompleksitas persoalan yang berkaitan dengan penyelenggaraan sertifikasi halal,” tutur Ikhsan.
Apabila instrumen tersebut belum siap dalam waktu pelaksanaan, Ahmad menilai seharusnya UU tersebut dijalankan harus dengan perpu. Apalagi, dalam pasal 67disebutkan bahwa kewajiban bersertifikat halal mulai berlaku 5 tahun sejak aturan tersebut diundangkan pada 2014. Menurut dia, Perpu ini bisa menyempurnakan pasal 67 untuk memperpanjang waktu dimulainya kewajiban halal. “Sehingga ada landasannya. Persoalannya, ini sudah lewat lima tahun dan belum bisa berjalan dengan baik. Ini juga berpotensi maladministrasi dan tidak sejalan dengan good governance,” tutur Iksan.
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Rachmat Hidayat menuturkan sebagian besar industri besar dan menengah sudah melakukan sertifikasi halal. Namun, masih ada sekitar 1,6 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum siap untuk menjalankan UU JPH. Rachmat berharap pemerintah secara intensif memantau pelaksaan di lapangan, membantu subsidi biaya sertifikasi, dan membantu kapabilitas UMKM. “Karena sertifikasi halal menuntut pemenuhan kaidah keamanan pangan,” tutur Rachmat.