TEMPO.CO, Jakarta - Hasil riset British Petroleum menyebutkan penggunaan energi primer Indonesia selama 2018 tumbuh 4,9 persen, terutama minyak dan gas. Angkanya melebihi pertumbuhan rata-rata tahunan konsumsi energi primer sejak 2007-2017 yang sebesar 2,8 persen. "Minyak mendominasi 45 persen dari konsumsi energi primer di 2018," ujar Group Chief Economist dari British Petroleum Spencer Dale, Kamis 17 Oktober 2019.
Dominasi bahan bakar minyak nampak dari meningkatnya permintaan akan diesel, avtur dan bensin. Di sisi lain, produksi minyak justru menurun 3,5 persen di 2018. Angkanya melebihi rata-rata tahunan penurunan produksi minyak selama 2007-2017 yaitu sebesar 1,5 persen.
Pengamat energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi menyatakan kondisi ini berpotensi semakin memperbesar defisit neraca migas yang pada akhirnya akan memperparah defisit neraca perdagangan. Dengan rendahnya produksi dalam negeri, impor migas menjadi kunci pemenuhan konsumsi.
"Migas selama ini merupakan salah satu penggerak perekonomian. Jika impor dihentikan bisa menghambat ekonomi," katanya.
Badan Pusat Statistik mencatat hingga September 2019 impor migas mencapai US$ 15,86 miliar. Dengan ekspor yang hanya US$ 9,42 miliar, neraca migas defisit US$ 6,44 miliar.
Untuk mengurangi ancaman defisit, pemerintah dinilai perlu mengimbangi dengan meningkatkan ekspor non migas. Strategi ini dinilai paling mudah dilaksanakan dibandingkan menahan impor minyak. Selain itu, perlu ada upaya mendorong energi baru dan terbarukan (EBT). "Tidak bisa lagi berharap kepada energi fosil, harus dari EBT," ujar dia.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Onny Widjanarko menyatakan defisit neraca migas cenderung membaik hingga September 2019 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Defisit migas turun dari US$ 9,45 miliar di Januari-September 2018 menjadi US$ 6,44 miliar pada Januari-September 2019.
Dampaknya, neraca perdagangan Indonesia membaik hingga September ini. Defisit neraca perdagangan turun sebesar US$ 1,87 miliar dari US$ 3,82 miliar di periode Januari-September 2018 menjadi US$ 1,95 miliar di periode yang sama tahun ini.
Onny mengatakan, penurunan defisit migas berkaitan dengan implementasi beberapa kebijakan pemerintah. "Seperti implementasi penggunaan bahan bakar nabati B20 dan kewajiban penawaran crude oil oleh K3S kepada Pertamina," ujarnya. Kedua kebijakan tersebut, menurut dia, efektif mengurangi impor minyak mentah dan produk minyak oleh Pertamina.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan pemerintah tengah mempercepat transformasi biodiesel dari B20 menuju B30 sebagai ganti solar. Kebijakan ini diharapkan meningkatkan ekspor non-migas sekaligus menyerap kelebihan produksi CPO dan turunannya yang belum terserap pasar dunia.