Berikutnya, jumlah auditor halal yang tersedia di Indonesia pun dinilai belum cukup banyak untuk mencakupi kebutuhan sertifikasi di Tanah Air. "Kementerian Agama harus membuat pusat penelitian halal di perguruan tinggi, sekarang sudah ada 50 perguruan tinggi yang bekerja sama tapi belum produksi auditor," tutur Ahmad.
Dengan persiapan yang serba terburu-buru itu, Ahmad khawatir akan ada dampak negatif kepada pelaku usaha, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. "Kalau secara UU kan harus berlaku mutlak hari ini di seluruh Indonesia. Tapi memang ada pasal di UU itu bertahap tapi harusnya itu dari 2014-2019, tapi kemudian di PP-nya bertahap ke depan."
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyebut hari ini, Kamis, 17 Oktober 2019, sebagai tanggal dimulainya ketentuan sertifikasi halal. Namun berlakunya beleid Jaminan Produk Halal itu tidak serta merta membuat sertifikasi halal langsung menjadi wajib.
"Jadi 17 Oktober 2019 itu tanggal dimulainya sertifikasi halal, bukan diwajibkannya sertifikasi halal. Kalau diwajibkan kan ada konsekuensi sanksi hukum," ujar Lukman.
Lukman mengatakan kewajiban itu baru berlaku setelah lima tahun dilalui masa pentahapan. Pada lima tahun pertama, pada 17 Oktober 2019 - 17 Oktober 2024, pemberlakuan sertifikasi halal itu baru dikhususkan untuk produk makanan dan minuman, serta produk dan jasa terkait keduanya. Sementara, untuk produk lainnya seperti obat dan kosmetik, belum diberlakukan.
"Nanti setelah lima tahun ini berlalu, baru ada penegakan hukum bagi produk makanan dan minuman yang tidak bersertifikat halal akan dikenai sanksi," tutur Lukman.
Ia membantah langkah tersebut sebagai kemunduran yang dilakukan pemerintah setelah Undang-undang Jaminan Produk Halal terbit pada 2014. "Ini cara kita secara persuasif menerapkan bagaimana perintah Undang-undang itu dilakukan. Karena, UU mengatakan pemberlakuan proses sertififikasi halal dilakukan 5 tahun sejak disahkannya UU."